Bekasi –
Menanggapi rencana perpanjangan kerja sama pengelolaan Tempat Pengolahan Sampah
Terpadu (TPST) Bantargebang antara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan
Pemerintah Kota Bekasi pada Oktober 2026, Kader Ansor Kecamatan Bantargebang,
Zaenudin, menyuarakan harapannya agar Wali Kota Bekasi, Tri Adhianto, dapat
wujudkan keadilan bagi warga setempat yang telah terdampak lingkungan selama
hampir 36 tahun sejak TPST Bantargebang beroperasi tahun 1989.
Zaenudin menyoroti
stigma negatif yang melekat pada Bantargebang sebagai daerah pembuangan sampah.
Ia menegaskan bahwa tidak ada masyarakat yang ingin lingkungannya menjadi
tempat pembuangan sampah atau pengelolaan sampah, karena pada dasarnya setiap manusia ingin lingkungannya baik dan sehat. Menurutnya, realitas ini
tidak hanya dirasakan oleh warga Bantargebang, tetapi juga oleh masyarakat
Rorotan Jakarta yang terdampak pencemaran dari fasilitas Refuse-Derived Fuel (RDF)
baru-baru ini. Ia menekankan pentingnya kesetaraan dalam kebijakan lingkungan
agar tidak terjadi diskriminasi atau rasisme lingkungan.
“Oleh karena itu,
perpanjangan kontrak kerja sama ini harus melibatkan masyarakat Bantargebang
sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28 UU No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan
Sampah. Kebijakan yang diambil tidak boleh hanya berdasarkan kepentingan pemerintah,
tetapi harus mengutamakan kepentingan masyarakat Bantargebang yang hak lingkungannya telah
terabaikan selama ini, menyusul adanya permintaan dari Wali Kota Bekasi terkait kompensasi berupa pembangunan
dua rumah susun (rusun) dan dua jalan layang (flyover) terkait
perpanjangan kontrak Kerjasama TPST” ujarnya.
Selain dampak
pencemaran, Zaenudin juga menyoroti dampak lain dari TPST terhadap nilai properti di wilayah
Bantargebang yang dapat lebih rendah dibanding daerah lain. Ia menekankan pentingnya
kompensasi maksimal bagi warga berdasarkan Prinsip pencemar membayar (Polluter Pay) serta
kejelasan mengenai keberadaan dana penjaminan untuk pemulihan lingkungan (The guarantee
fund for environmental recovery) sebagaimana diwajibkan dalam Pasal 43 UU
No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH)
yang selama ini tidak pernah diperhatikan, sebab jika operasional TPST berakhir
maka wajib lingkungan dipulihkan. Menurutnya, aspek transparansi terkait
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) dan hasil audit lingkungan TPST
juga harus diperhatikan.
“Kami berharap
sebelum perpanjangan kontrak dilakukan, ada diskusi komprehensif antara
Pemerintah Kota Bekasi dan masyarakat Bantargebang agar kebijakan yang diambil
benar-benar berpihak pada warga,” tambahnya.
Terkait rencana
pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa), Zaenudin menyatakan
dukungannya terhadap upaya pengurangan dampak negatif dari permasalahan sampah.
Namun, ia menggarisbawahi perlunya keterlibatan aktif masyarakat dalam setiap
tahap kebijakan. Ia juga menekankan pentingnya pengawasan ketat terhadap
potensi dampak emisi yang ditimbulkan agar proyek ini tidak justru menambah
masalah lingkungan baru di Bantargebang, serta perlu menjadi catatan PLTSa
bukan solusi akhir dari masalah sampah, namun perlunya diimbangi dengan
kebijakan untuk pengurangan sampah secara holistik.
“Kebijakan harus
terbuka dan melibatkan masyarakat dalam diskusi yang transparan, sehingga
solusi yang dihasilkan benar-benar bermanfaat dan tidak menimbulkan masalah
baru,” pungkasnya.