Bantar Gebang: Simbol Kolonialisme Sampah dan Rasisme Lingkungan

Ansor sumur batu
By -

 

 

Gambar : Ilustrasi

Dalam diskursus global mengenai lingkungan, istilah kolonialisme sampah menjadi perbincangan yang semakin relevan. Konsep ini pertama kali dicetuskan pada tahun 1989 dalam kelompok kerja Konvensi Basel Program Lingkungan Hidup PBB ketika negara-negara Afrika mengungkapkan kekhawatiran mereka atas pembuangan limbah berbahaya dari negara-negara dengan PDB tinggi ke negara-negara dengan PDB rendah. Fenomena ini mencerminkan ketimpangan struktural dalam sistem ekonomi global, di mana negara-negara berkembang menjadi "tempat pembuangan" bagi limbah industri dan konsumsi dari negara-negara maju.


Kolonialisme sampah berakar pada sistem kapitalisme yang mengedepankan produksi dan konsumsi berlebihan tanpa mempertimbangkan dampak lingkungan. Sistem ekonomi ini menormalisasi budaya sekali pakai yang mendorong eksploitasi sumber daya tanpa henti serta pembuangan limbah yang tidak terkendali. Akibatnya, negara atau daerah dengan tingkat ekonomi yang lebih rendah sering kali harus menanggung beban limbah dari wilayah lain yang lebih maju. Salah satu contoh nyata kolonialisme sampah di Indonesia adalah keberadaan Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) Bantar Gebang di Kota Bekasi.


Sebagai TPST terbesar di Indonesia, Bantar Gebang telah lama menjadi lokasi utama pembuangan sampah dari DKI Jakarta. Setiap harinya, ribuan ton sampah dikirim ke lokasi ini, menciptakan lanskap gunungan limbah yang terus bertambah. Sayangnya, beban lingkungan yang ditanggung oleh masyarakat sekitar tidak sebanding dengan manfaat yang diterima. Mereka harus hidup dalam kondisi yang jauh dari layak, menghadapi pencemaran udara, air, serta dampak kesehatan yang serius akibat paparan gas metana, lindi beracun, dan polusi udara dari aktivitas pembakaran sampah.


Fenomena ini tidak hanya mencerminkan kolonialisme sampah, tetapi juga erat kaitannya dengan rasisme lingkungan. Konsep rasisme lingkungan pertama kali diidentifikasi oleh Dr. Benjamin Chavis dan diperjelas oleh Robert Bullard dalam bukunya Dumping in Dixie. Bullard mendefinisikan rasisme lingkungan sebagai kebijakan atau praktik yang secara tidak proporsional membebani kelompok tertentu sering kali kelompok minoritas atau mereka yang berada dalam kondisi ekonomi rendah dengan risiko lingkungan yang lebih besar dibandingkan kelompok lain. Melihat  Bantar Gebang, komunitas yang tinggal di sekitar TPST umumnya berasal dari kelas sosial ekonomi menengah ke bawah, dengan akses terbatas terhadap layanan kesehatan dan infrastruktur yang memadai.


Masyarakat sekitar TPST Bantar Gebang mengalami dampak serius akibat keberadaan tempat pembuangan sampah ini. Risiko penyakit pernapasan akibat paparan polusi udara, pencemaran air tanah, serta penurunan kualitas hidup adalah realitas yang mereka hadapi setiap hari. Sementara itu, warga DKI Jakarta yang menghasilkan sampah dalam jumlah besar tidak merasakan dampak langsung dari limbah yang mereka hasilkan. Ketimpangan ini semakin menegaskan bagaimana rasisme lingkungan bekerja: mereka yang memiliki sumber daya lebih sedikit harus menanggung beban lingkungan dari mereka yang lebih beruntung secara ekonomi.


Penyelesaian permasalahan ini membutuhkan intervensi di berbagai level. Pemerintah harus mengambil langkah konkret untuk mengurangi beban masyarakat sekitar TPST Bantar Gebang, baik melalui regulasi yang lebih ketat terhadap pengelolaan sampah maupun melalui investasi dalam teknologi daur ulang dan pengolahan limbah yang lebih ramah lingkungan. Selain itu, perubahan pola konsumsi di masyarakat juga perlu didorong agar budaya sekali pakai dapat diminimalisir.


Kesadaran akan kolonialisme sampah dan rasisme lingkungan harus menjadi bagian dari perdebatan publik yang lebih luas. Bantar Gebang bukan sekadar tempat pembuangan sampah; ia adalah simbol ketidakadilan struktural yang harus segera ditangani. Tanpa upaya yang serius dan berkelanjutan, fenomena ini akan terus berlanjut, membebani masyarakat yang sudah terpinggirkan dengan dampak lingkungan yang seharusnya menjadi tanggung jawab bersama.

 

 

Tags: