![]() |
Sumber Foto : https://bit.ly/4lAa2Wp |
TPST
Bantargebang adalah salah satu tempat pembuangan dan pengolahan sampah terbesar
di Indonesia. Berlokasi di Kecamatan Bantargebang, Kota Bekasi, fasilitas ini
telah beroperasi sejak tahun 1989 berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jawa
Barat No. 593.82/SK/282.P/AGK/DA/86 jo. 593.82/SK.116.P/AGK/DA/26-1987.
Berdasarkan keputusan tersebut, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta diberi
kewenangan untuk mengelola dan memanfaatkan TPST Bantargebang sebagai lokasi
pembuangan akhir sampah dari wilayah Jakarta, dengan menggunakan sistem
sanitary landfill (Marthin Hadi Juliansah, Analisis Keberadaan Tempat Pengolahan Sampah
Terpadu (TPST) Bantar Gebang Bekasi, FE
UI, 2010).
Meski
menjadi solusi penting bagi permasalahan sampah di Jakarta, keberadaan TPST
Bantargebang telah menimbulkan dampak lingkungan, sosial, dan kesehatan yang
signifikan bagi warga sekitar. Bau menyengat, pencemaran air tanah,
meningkatnya kasus penyakit pernapasan, hingga penurunan nilai properti adalah
sebagian dari konsekuensi yang harus ditanggung oleh masyarakat di sekitarnya.
Sebagai
bentuk tanggung jawab, sejak tahun 2004 Pemerintah Provinsi Jakarta dan
Pemerintah Kota Bekasi menjalin kerja sama pengelolaan TPST Bantargebang (Marthin Hadi
Juliansah). Salah satu poin penting dalam
perjanjian tersebut adalah pemberian bantuan keuangan dari Jakarta kepada
Pemerintah Kota Bekasi untuk menangani dampak lingkungan, termasuk di antaranya
pemberian bantuan langsung tunai (BLT) kepada warga Kecamatan Bantargebang.
Namun,
setelah beberapa kali perpanjangan kerja sama, besaran bantuan yang diterima
warga dinilai masih jauh dari nilai yang ideal jika dihitung perjiwa. Di tengah
beban lingkungan yang terus mereka tanggung, bantuan yang diberikan belum
mencerminkan rasa keadilan dan belum sebanding dengan kerugian yang mereka
alami setiap hari.
Oleh karena itu, dalam momentum renegoisasi perpanjangan kerja sama TPST Bantargebang yang akan berakhir pada tahun 2026, sudah saatnya besaran kompensasi ditinjau ulang secara serius. Usulan agar setiap warga terdampak menerima kompensasi minimal Rp 1 juta per bulan per jiwa bukanlah tuntutan yang mengada-ada, melainkan didasarkan pada perhitungan yang rasional. Nilai kompensasi tersebut mencerminkan total beban yang ditanggung warga akibat Dampak kesehatan, Penurunan nilai aset properti dan tanah , Masalah sosial dan ekonomi, dan Kerusakan lingkungan jangka panjang.
Jika
merujuk pada data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024, jumlah penduduk
Kecamatan Bantargebang mencapai 113.988 jiwa. Maka, dengan asumsi kompensasi Rp
1 juta per bulan per jiwa, dibutuhkan anggaran sekitar Rp 1,3 triliun per tahun.
Angka ini masih sangat masuk akal bila dibandingkan dengan Sisa Lebih
Pembiayaan Anggaran (SiLPA) Pemerintah Provinsi Jakarta yang rata-rata
mencapai lebih dari Rp 4 triliun setiap tahun.
Selain
sebagai bentuk keadilan fiskal dan tanggung jawab ekologis, usulan ini juga
sejalan dengan prinsip “polluter pays”, yaitu bahwa pihak yang
menghasilkan pencemaran wajib menanggung biaya kerusakan yang ditimbulkannya.
Di samping itu, konstitusi menjamin hak setiap warga negara atas lingkungan
hidup yang baik dan sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945.
Karena
itu, perjuangan untuk mewujudkan kompensasi Rp 1 juta per bulan per jiwa harus
mendapatkan dukungan dari berbagai pihak: Pemerintah Kota Bekasi selaku
pengelola anggaran dan mitra kerja sama, Pemerintah Provinsi Jakarta selaku
pengguna fasilitas, DPRD baik di tingkat kota maupun provinsi, serta Gubernur
Jawa Barat sebagai pihak yang turut bertanggung jawab sejak awal dibukanya TPST ini pada era tahun 80an akhir.
Hal
ini sebagai bentuk Keadilan ekologis dari adanya diskriminasi lingkungan dan
juga praktik kolonialisme sampah dalam tataran lokal. Ini adalah hak nyata
warga Bantargebang yang telah puluhan tahun menanggung beban peradaban kota
besar. Sudah saatnya mereka dihargai secara layak, bukan hanya dengan janji,
tetapi dengan kebijakan yang berpihak dan berpijak pada nurani.