![]() |
Bantar Gebang Menggugat |
Kecamatan Bantargebang, yang terkenal sebagai lokasi Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) terbesar milik DKI Jakarta, seringkali dipandang sebagai “halaman belakang” yang tersembunyi dari perhatian publik. Wilayah ini, yang mencakup Kelurahan Bantargebang, Cikiwul, Ciketing Udik, dan Sumur Batu, dengan luas 1.843,89 km², dihuni oleh sekitar 107,22 ribu jiwa. Dengan hanya 35.087 kepala keluarga, Bantargebang merupakan kecamatan dengan jumlah penduduk paling sedikit di Kota Bekasi. Meski demikian, masalah yang mereka hadapi sangat besar dan mendesak.
Tumpukan sampah setinggi 40 meter, setara dengan gedung 16 lantai, menggunung di TPST Bantargebang yang luasnya mencapai 110 hektare. TPA Kota Bekasi di kelurahan Sumur Batu menambah beban dengan luas 19 hektare. Total 39 juta ton sampah kini memenuhi 80% dari lahan TPST, seperti yang diungkapkan oleh akun @dkijakarta pada 28 Juni 2022. Di balik angka-angka itu, ada masalah yang jauh lebih mendalam, yaitu ketidakadilan struktural yang dialami masyarakat Bantargebang.
Selama bertahun-tahun, kebijakan terkait pengelolaan sampah di Bantargebang selalu diputuskan secara top-down. Masyarakat setempat tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan yang berpengaruh langsung terhadap kehidupan mereka. Perjanjian kerja sama antara Jakarta dan Kota Bekasi, yang mengatur penggunaan TPST Bantargebang, sedangkan TPA Kota Bekasi di Sumur Batu hingga kini belum ada kompensasi untuk warga terdampak, pelaksanaan keduanya dilakukan dengan minim transparansi. Proses Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dari TPST dan TPA juga sulit diakses oleh publik, sehingga warga tidak tahu sejauh mana dampak negatif sampah tersebut terhadap lingkungan mereka.
Kompensasi yang semestinya diberikan kepada warga terdampak pun menjadi persoalan besar. Dana dari DKI Jakarta yang mengalir ke APBD Kota Bekasi sebesar lebih dari Rp300 miliar per tahun, diterima sebagai bantuan keuangan dengan nomenklatur yang berbeda dari yang diatur dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Undang-Undang No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, yaitu kompensasi atau ganti rugi. Akibatnya, dana ini sering dialokasikan ke dinas-dinas lain, bahkan di luar Kecamatan Bantargebang, tanpa mengutamakan kepentingan masyarakat yang langsung terdampak.
Seharusnya, masyarakat Bantargebang berhak atas kompensasi yang maksimal atas kerugian yang mereka alami setiap harinya. Mereka menghadapi polusi udara yang membahayakan kesehatan, air lindi yang mencemari sumber air, serta dampak ekonomi yang signifikan seperti penurunan nilai properti dan kualitas hidup. Jika dihitung, kerugian tahunan yang diderita masyarakat Bantargebang bisa mencapai triliunan rupiah.
Di Pilkada Kota Bekasi 2024, Bantar Gebang Menggugat hadir sebagai seruan perjuangan untuk memperjuangkan hak-hak masyarakat yang telah lama terabaikan. Ini adalah momen penting untuk menuntut transparansi, partisipasi aktif masyarakat dalam pengambilan keputusan, serta kompensasi yang adil atas dampak lingkungan yang mereka derita.
Tidak boleh lagi ada kebijakan yang hanya menguntungkan pihak tertentu tanpa memperhitungkan dampak yang nyata bagi kehidupan warga Bantargebang. Masyarakat berhak atas pengelolaan dana kompensasi secara penuh, serta mendapatkan ganti rugi yang sepadan dengan kerugian yang mereka alami setiap hari. Warga Bantargebang telah cukup lama menanggung beban, kini saatnya mereka mendapat keadilan di kotanya sendiri.