![]() |
Gambar : Ilustrasi |
Bekasi,
16 Maret 2025– Menjelang pencairan dana
kompensasi sampah dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta bagi warga Kecamatan
Bantar Gebang triwulan pertama tahun 2025, Zaenudin, Ketua GP Ansor Sumur Batu, Bantar Gebang, Kota Bekasi mendesak Pemerintah Kota (Pemkot) Bekasi untuk mempermudah akses pencairan hak
kompensasi bagi masyarakat terdampak.
Menurutnya,
di lapangan masih ditemukan berbagai persyaratan tambahan yang dinilai justru
mempersulit warga. Setiap kali pencairan, masyarakat diminta mengumpulkan
kembali fotokopi identitas, kartu keluarga, rekening, hingga membeli materai
Rp10.000 untuk pernyataan integritas. Selain itu, muncul kewajiban melampirkan
bukti pelunasan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), yang tidak memiliki dasar aturan
yang jelas hubungannya dengan penerimaan hak kompensasi.
"Hal-hal
seperti ini justru menyulitkan masyarakat. Hak kompensasi ini muncul karena
adanya prinsip ‘polluter pays’ atau pencemar membayar, sebagaimana diatur dalam
UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
serta UU No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah," tegas Ketua GP Ansor Sumur Batu.
Ia menambahkan, kompensasi ini diberikan sebagai bentuk ganti rugi kepada masyarakat yang hak konstitusionalnya untuk mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat telah terlanggar akibat keberadaan tempat pembuangan sampah," jelasnya. Oleh karena itu, pemerintah seharusnya tidak membebankan persyaratan yang berlebihan kepada masyarakat dalam pencairan dana kompensasi ini.
Selain
itu, Ketua GP Ansor Sumur Batu juga menyoroti transparansi dan akuntabilitas
penggunaan dana kompensasi. Ia menilai bahwa daftar penerima bantuan sosial
(bansos) ini seharusnya dapat dipublikasikan agar masyarakat bisa mengawasi
proses penyaluran dana dengan lebih transparan.
"Integritas
dan transparansi ini jangan hanya dibebankan kepada masyarakat. Pemerintah Kota
Bekasi sebagai penerima dan pengelola dana kompensasi dari DKI Jakarta juga
harus membuka akses informasi penggunaan dan pengelolaan keuangan Bantuan Dana DKI Jakarta untuk Kompensasi Sampah Jakarta ini kepada publik warga terdampak," tambahnya.
Ia
juga mempertanyakan kewajiban pelunasan PBB sebagai syarat pencairan
kompensasi. Menurutnya, banyak pembangunan di Kecamatan Bantar Gebang yang
menggunakan dana bantuan dari DKI Jakarta, sementara dana ratusan miliar
tersebut justru masuk dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kota
Bekasi tanpa sepenuhnya diberikan kepada masyarakat terdampak.
"Ironisnya,
untuk TPA (Tempat Pembuangan Akhir) Kota Bekasi yang ada di Sumur Batu, hingga
kini kewajiban kompensasi bagi warga sekitar belum juga ditunaikan. Jika
merujuk pada prinsip polluter pays, seharusnya masyarakat yang terdampak
mendapatkan Kompensasi," ungkapnya.
Lebih
lanjut, ia menilai bahwa masyarakat terdampak tempat pembuangan sampah seharusnya mendapatkan
pengurangan atau pembebasan PBB sesuai tingkat kerusakan lingkungan yang
dialami. Hal ini didasarkan pada definisi wajib pajak dalam Undang-Undang Nomor
12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan, di mana subjek pajak adalah
pihak yang memperoleh manfaat atas bumi dan bangunan. "Jika karena
pencemaran lingkungan manfaatnya berkurang atau bahkan tidak ada, seharusnya
kewajiban pajaknya juga dikurangi atau dihapuskan," tambahnya.
Dalam
hal ini, ia juga menekankan peran anggota DPRD Kota Bekasi, khususnya dari
daerah pemilihan (dapil) 3, untuk mengawal dan memperjuangkan kepentingan
masyarakat Bantar Gebang yang telah memberikan mandat kepada mereka.
Sebagai
penutup, ia mengimbau masyarakat untuk tidak takut dalam memperjuangkan
hak-haknya, termasuk jika ada oknum yang mengancam pencairan kompensasi.
"Di era digital ini, masyarakat harus lebih pintar dan berani dalam menuntut haknya. Jangan takut dengan ancaman-ancaman yang tidak berdasar," pungkasnya.