![]() |
Sumber foto : https://images.app.goo.gl/m7bB5MCZ9yY3LGJE6 |
Bekasi, 25 Januari 2025- Baru-baru ini,
kasus pemagaran laut dan pengurugan perairan tanpa izin di Tangerang dan
Kabupaten Bekasi menjadi sorotan publik. Salah satu yang menjadi perhatian
adalah kawasan Kampung Paljaya, Desa Segara Jaya, Tarumajaya, Kabupaten Bekasi,
di mana terdapat lahan seluas hampir 800 hektare yang telah bersertifikat,
meskipun merupakan wilayah perairan. Gubernur Jawa Barat terpilih, Dedi
Mulyadi, mengungkapkan keheranannya atas keberadaan sertifikat tersebut dan
menyatakan akan mengadakan pertemuan dengan Menteri Agraria dan Tata
Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid, untuk menelusuri asal
usul penerbitan sertifikat tersebut. Sertifikasi tanah di wilayah perairan
bertentangan dengan wewenang BPN, yang seharusnya hanya menangani pendaftaran
tanah, bukan laut .
Secara
hukum, pengurugan laut dan pemagaran tanpa izin melanggar sejumlah regulasi di
Indonesia. Salah satunya adalah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH), yang mewajibkan
setiap kegiatan yang berdampak besar terhadap lingkungan memiliki izin
lingkungan. Kegiatan pengurugan laut yang dilakukan tanpa dokumen Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) berpotensi dikenai sanksi pidana penjara
hingga 10 tahun dan denda maksimal Rp10 miliar.
Selain
itu, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil (UU WP3K) juga secara tegas melarang pembangunan
fisik yang merusak lingkungan pesisir dan mengganggu kehidupan masyarakat
sekitar. Pelanggaran terhadap ketentuan ini dapat dikenai pidana hingga 10 tahun
dan denda maksimal Rp10 miliar. Regulasi ini diperkuat oleh ketentuan dalam Undang-Undang
Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, yang mewajibkan pemanfaatan
ruang sesuai Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).
Tanggung
jawab hukum tidak hanya terbatas pada pelaku utama, tetapi juga mencakup
korporasi dan pejabat yang terlibat. Dalam hal korporasi, UU PPLH Pasal 116
menyatakan bahwa direksi atau pengurus korporasi dapat dimintai
pertanggungjawaban pidana jika terbukti terlibat dalam aktivitas ilegal. Sanksi
administratif, seperti pencabutan izin usaha dan kewajiban pemulihan
lingkungan, juga dapat dikenakan pada korporasi.
Sementara
itu, pejabat yang terbukti terlibat dalam penerbitan izin atau sertifikasi yang
tidak sesuai prosedur dapat dijerat dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Kolusi atau
gratifikasi dalam proses tersebut dapat dikenai sanksi pidana penjara minimal 4
tahun dan denda hingga Rp1 miliar.
Dari
sudut pandang hukum pertanahan, hak atas tanah yang berada di wilayah laut juga
menjadi perdebatan. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), hak atas tanah akan hilang jika
tanah tersebut secara fisik musnah, misalnya akibat abrasi atau longsor. Dalam
kasus ini, tanah yang berubah menjadi bagian dari perairan kembali menjadi
milik negara sesuai Pasal 33 UUPA.
Prinsip
pengelolaan sumber daya alam di Indonesia dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menegaskan
bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya adalah milik
publik yang dikuasai oleh negara. Negara, dalam hal ini, tidak memiliki hak
atas sumber daya alam tersebut secara pribadi atau individual, tetapi diberikan
mandat untuk menguasai guna memastikan penggunaannya untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat. Hak menguasai oleh negara ini memiliki dimensi pengaturan,
pengelolaan, dan pengawasan yang ditujukan untuk menjaga keberlanjutan sumber
daya alam dan meminimalkan dampak negatif terhadap lingkungan maupun
masyarakat.
Dalam
konteks kasus perusakan lingkungan akibat aktivitas ilegal, seperti reklamasi
atau pengurugan laut tanpa izin yang terjadi di wilayah Tarumajaya, Kabupaten
Bekasi, kerugian yang timbul tidak hanya berdampak pada lingkungan, tetapi juga
dapat dikategorikan sebagai kerugian negara. Kerugian ini muncul karena negara
kehilangan potensi manfaat dari sumber daya alam yang seharusnya dapat dikelola
untuk kemakmuran rakyat. Misalnya, penguasaan wilayah laut oleh perusahaan
tertentu melalui praktik ilegal akan menghilangkan akses masyarakat setempat
terhadap sumber daya perairan, merusak ekosistem laut, dan mengurangi potensi
ekonomi daerah. Hal ini melanggar mandat konstitusional yang diatur dalam Pasal
33 ayat (3) UUD 1945.
Secara
hukum, kerugian negara akibat kerusakan lingkungan dapat diarahkan pada
penerapan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi (UU Tipikor). Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor menyebutkan bahwa
setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri
sendiri, orang lain, atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara dapat dikenai pidana. Dalam konteks ini, perusakan
lingkungan yang dilakukan tanpa izin dan menyebabkan hilangnya potensi sumber
daya alam yang dikuasai oleh negara dapat dianggap sebagai bentuk merugikan
perekonomian negara.
Kasus
besar seperti kerugian negara sebesar Rp300 triliun akibat eksploitasi ilegal
tambang timah menjadi contoh nyata bagaimana kerusakan lingkungan dapat
diintegrasikan dengan delik korupsi. Dalam kasus semacam ini, pelaku tidak
hanya merusak lingkungan tetapi juga merampas hak rakyat atas kekayaan alam
yang seharusnya digunakan untuk kesejahteraan bersama. Oleh karena itu, negara
dapat menuntut para pelaku secara pidana dengan menggunakan kombinasi
undang-undang lingkungan hidup, undang-undang sektor tertentu, dan UU Tipikor.
Kajian
ini menegaskan bahwa filosofi Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 mengharuskan negara
tidak hanya bertindak sebagai pengelola, tetapi juga sebagai pelindung
kepentingan publik atas sumber daya alam. Dengan demikian, setiap aktivitas
ilegal yang merusak lingkungan dan merugikan perekonomian negara dapat
dikenakan sanksi pidana dengan dasar hukum yang tegas, termasuk pemberantasan
tindak pidana korupsi. Pendekatan ini juga sejalan dengan prinsip pembangunan
berkelanjutan, di mana pengelolaan sumber daya alam harus mempertimbangkan
keseimbangan antara kebutuhan ekonomi, sosial, dan kelestarian lingkungan.
Kasus
di Tarumajaya menjadi contoh penting bagaimana celah regulasi dapat
dimanfaatkan untuk kepentingan tertentu. Sertifikasi di wilayah laut yang
melibatkan dua perusahaan besar memunculkan banyak pertanyaan tentang validitas
hukum dan prosedur yang ditempuh. Langkah Gubernur Jawa Barat terpilih untuk menggandeng
Kementerian ATR/BPN merupakan langkah strategis untuk memastikan tidak ada
pelanggaran hukum dalam proses tersebut. Selain itu, peran lembaga penegak
hukum dan masyarakat sipil juga krusial dalam mengawasi dan menindak praktik
ilegal ini.
Dengan
meningkatnya aktivitas pembangunan di wilayah pesisir, diperlukan pendekatan
yang lebih tegas dan terpadu antara kementerian terkait untuk menghindari
eksploitasi yang tidak bertanggung jawab terhadap lingkungan dan masyarakat
sekitar. Pendekatan yang mengintegrasikan aspek hukum, lingkungan, dan tata
ruang menjadi kunci dalam menyelesaikan permasalahan pemagaran laut dan
pengurugan ilegal di Indonesia.