Umat di Tengah Klaim Kelompok dan Penguasa

Ansor sumur batu
By -

 


Nabi Muhammad adalah ibarat lautan tempat semua sungai bermuara, namun setiap sungai memiliki jalurnya sendiri. Dalam perjalanan sejarah Islam, sungai-sungai ini mencerminkan klaim dan rivalitas berbagai kelompok, yang akan diputuskan finalnya oleh Ahkamul Hakimin, Allah SWT, di akhirat. Namun, apakah rivalitas ini semestinya menjadi urusan kita? Bukankah perkembangan otoritas-otoritas baru yang memiliki wilayah dan kode sendiri justru menciptakan friksi? Di sisi lain, apakah ini sehat bagi Islam atau malah menjadi persoalan?

Realitas ini, menurut saya, adalah keniscayaan sejarah dan manusiawi. Sebagai institusi sosial, agama tak terhindarkan dari dinamika sosial yang melingkupinya. Yang menjadi masalah adalah imajinasi modernis yang mengidealkan umat sebagai entitas tunggal. Dalam pandangan ini, umat seharusnya bersatu tanpa perbedaan. Namun, benarkah harus seperti itu? Kaum sufi, misalnya, justru mengapresiasi keberagaman sebagai manifestasi kehadiran Tuhan. Mereka melihat Nabi Muhammad sebagai lautan, tempat semua sungai bertemu, meski jalur mereka berbeda. Dalam burdah dan karya lainnya, perbedaan ini dianggap wajar dan bahkan indah.

Jika kita melihat sejarah, gagasan umat tunggal seringkali menjadi utopia. Misalnya, dalam Piagam Madinah yang merupakan dokumen tua dan penting, umat Islam dan Yahudi di Madinah diakui sebagai komunitas yang berbeda namun hidup berdampingan dalam satu asosiasi sipil. Piagam ini menandai Madinah sebagai rival Mekah, tetapi juga menunjukkan fleksibilitas Nabi dalam membangun tatanan masyarakat yang mencakup semua elemen, termasuk non-Muslim. Namun, ketika Islam berkembang menjadi kekaisaran, seperti Dinasti Umayyah dan Abbasiyah, klaim sebagai representasi umat mulai muncul. Bahkan hingga kini, banyak kelompok dan pemimpin yang mengklaim representasi umat dengan agenda politik atau agama masing-masing.

Dalam konteks ini, “umat” sering kali hanyalah imaji aspiratif yang digunakan untuk melegitimasi kekuasaan atau pengaruh. Umat adalah entitas abstrak, sementara jamaah lebih konkret. Setiap jamaah memiliki imam dan otoritasnya sendiri, yang sering kali membawa ingatan kolektif kepada Nabi Muhammad melalui konsep sunnah. Namun, sunnah yang dihidupkan tidak selalu bebas dari seleksi dan pengaruh politik. Kita memilih sunnah mana yang relevan dengan kebutuhan masa kini, sehingga sunnah selalu terkait dengan konteks zaman.

Misalnya, tradisi Habib Luthfi dalam tarekat membangun jamaah berdasarkan adab sufi. Namun, ada juga habaib yang lebih menonjolkan aspek politik atau fiqh. Ragam ini menunjukkan fleksibilitas dalam mewujudkan sunnah. Bahkan tasawuf, yang dianggap jauh dari politik praktis, pada dasarnya adalah aktivitas politik karena membangun komunitas manusia. Di Indonesia, tradisi habaib umumnya mendukung stabilitas dan menghindari politik praktis. Namun, dalam era reformasi, gerakan Islam politik yang dulunya tertekan mulai kembali mencuat. Sebagian habaib pun terlibat dalam dinamika ini, meski hal itu masih menjadi fenomena yang minim secara proporsi.

Fenomena ini menarik karena memperlihatkan bagaimana tradisi yang begitu kuat, seperti tasawuf habaib, bisa beradaptasi dengan tuntutan zaman. Namun, perubahan ini tidak serta-merta menggantikan tradisi lama; ia muncul sebagai salah satu dari banyak mode dalam perjalanan Islam. Keanekaragaman ini tidak seharusnya dilihat sebagai kelemahan, tetapi sebagai kekayaan cara umat Islam memahami dan menjalani agamanya di tengah perubahan zaman.

Disadur dari pembicaraan  Prof. Ismail Fajrie Al Attas, Ph.D dalam : https://www.youtube.com/watch?v=XqSqmVWI0hU

Tags: