Kejawen dan Filsafat Islam Nusantara: Mengurai Pemahaman dan Kontroversi

Ansor sumur batu
By -

 

 


Kejawen, sebagai salah satu tradisi luhur yang lahir dari kearifan lokal Nusantara, sering kali menjadi subjek kesalahpahaman di tengah masyarakat. Sebagian orang menganggap Kejawen identik dengan praktik mistis atau kepercayaan kuno yang bertentangan dengan ajaran agama, padahal Kejawen sejatinya merupakan manifestasi nilai-nilai budaya yang mengajarkan harmoni, spiritualitas, dan penghormatan terhadap alam serta sesama manusia. Kesalahpahaman ini sering berakar dari kurangnya pemahaman tentang substansi Kejawen, yang sarat dengan simbolisme dan filosofi mendalam, yang sebenarnya dapat berjalan seiring dengan ajaran agama, khususnya dalam membangun akhlak dan perilaku manusia yang bijaksana.

Manusia, pada hakikatnya, adalah makhluk yang sangat meyakini adanya kekuatan universal. Manusia selalu berusaha untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, terutama ketika mereka berusaha menjadi satu dengan-Nya. Usaha ini merupakan bentuk kerinduan manusia terhadap Tuhan, yang merupakan ungkapan makna hidup dalam perjuangan menjadi manusia sempurna. Usaha mendekatkan diri tersebut disebut mistisisme, dan dalam kajian Islam, proses mistik ini dikenal dengan tasawuf atau sufisme, yang biasanya dilakukan dalam tarekat (Nasution, 1978). Dalam beberapa tradisi, seperti Hindu dan Sufi Islam, unsur mistisisme dapat beririsan dengan gagasan panteistik, seperti konsep wahdatul wujud dalam tasawuf, meskipun dalam konteks yang berbeda.

Filsafat Islam “asli” Nusantara pada dasarnya bersifat panteistik—dalam makna semacam paham Wahdah al-Wujud (Kesatuan Wujud). Ajaran tasawuf (teoretis/filosofis-Wujudi) ini, melalui Tarikat Syaththariyah maupun ajaran Syaikh Ibn ‘Arabi (martabat tujuh), menunjukkan pemahaman tersebut (Bagir, 2023).

Salah satu alasan mengapa tema wahdatul wujud—sebuah pandangan tauhid yang penjelasan awalnya ditemukan dalam karya-karya Ibn ‘Arabi, seorang ulama besar yang terkenal dengan karya agungnya al-Futuhat al-Makkiyyah—menjadi sangat dibicarakan di Nusantara, adalah karena pengaruhnya yang besar pada pemikiran keislaman. Pada abad ke-17, Syekh Yusuf al-Makassari, ulama sufi asal Makassar yang akhir hayatnya diasingkan hingga ke Cape Town, Afrika Selatan, juga membicarakan wahdatul wujud dalam karyanya, Zubdatul Asrar fi Masyaribil Akhyar. Karya ini meskipun tidak setebal Tanbihul Masyi, manuskrip karya ulama Aceh abad ke-16, Syekh Abdurrauf Singkel (As-Singkili), namun berisi penjelasan yang padat mengenai hakikat persepsi wahdatul wujud. Abdurrauf as-Sinkili kembali ke Aceh pada paruh kedua abad ke-16 setelah sekian lama belajar di kota-kota Arab, termasuk Makkah dan Madinah. Ia adalah murid dari Ibrahim al-Kurani, ulama besar keturunan Kurdi yang menjadi guru besar di kota Makkah. Ibrahim Kurani juga menulis kitab yang menjelaskan wahdatul wujud, yaitu Ithafud Dzaki. Kepulangan as-Sinkili segera menjadikannya rujukan, bahkan diangkat menjadi Qadi (1645-1675) Kesultanan Aceh yang dipimpin oleh Sultanah Shafiyyatu ad-Din.

Salah satu permasalahan yang muncul pada masa itu adalah perdebatan mengenai wahdatul wujud. Ada dua pandangan besar terkait wujudiyyah: pertama, yang menganggap ajaran ini sebagai bentuk kemusyrikan, diwakili oleh Syekh Nuruddin ar-Raniri; dan kedua, yang menganggapnya sebagai bentuk tauhid yang sangat paripurna, diwakili oleh Hamzah Fansuri dan Syamsuddin as-Sumatrani. Dalam Tanbihul Masyi, Abdurrauf as-Sinkili berusaha menyeimbangkan kedua pandangan ini. Ia menghindari pandangan yang dapat "membajak" wahdatul wujud dengan menyatakan bahwa seseorang yang berada pada level tersebut adalah "jelmaan Tuhan", dan juga menjawab pandangan yang menganggap wahdatul wujud sebagai kesesatan.

Untuk menjembatani persoalan ini, beliau mengutip pendapat dari kitab Tanbih al-Ghabiyy karya As-Suyuthi, yang membela pandangan-pandangan Ibn ‘Arabi dalam al-Futuhat al-Makkiyyah:

"إن الصوفية تواطؤوا على ألفاظ اصطلحوا عليها وأرادوا بها معاني غير معاني المتعارفة. فمن حمل ألفاظهم على معانيها المتعارفة بين أهل العلم الظاهر كفر وكفر."

"Sesungguhnya para sufi sering menggunakan kata-kata yang mereka beri makna khusus, bukan makna yang dikenal orang-orang pada umumnya. Maka, siapa pun yang mencoba memaknai kata-kata mereka dengan makna yang umum dikenal oleh ahli ilmu zahir, maka dia sendiri menjadi kafir dan akan dikafirkan" (Masrur, 2019).

Pasca konsep wahdatul wujud yang diperkenalkan oleh Syekh Siti Jenar era Walisongo, versi wahdatul wujud yang diajarkan oleh Syekh Abdurrauf as-Sinkili menyebar ke Pulau Jawa melalui tarekat Syathariyah yang dibawa oleh Syekh Abdul Muhyi Pamijahan (1650-1730), yang merupakan murid dari As-Sinkili. Tarekat ini kemudian menyebar ke pelosok Pulau Jawa, termasuk ke keraton-keraton, hingga menjadi sebuah teologi yang digunakan dalam melawan penjajahan. Beberapa tokoh ulama yang terlibat dalam penyebaran ajaran ini antara lain Eyang Hasan Maolani dari Kuningan, Pangeran Diponegoro, Kiayi Mojo, dan Sentot Prawirodirjo .

Kemudian Setelah tertangkapnya Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa (21 Juli 1825 - 9 Februari 1830), kehidupan sosial dan keagamaan di wilayah jawa  memasuki "masa kegelapan." Pemerintahan kolonial Belanda sangat memengaruhi aspek pemerintahan Kesultanan, yang berimbas pada kegiatan keagamaan di pesantren-pesantren yang mendukung Pangeran Diponegoro (Afkar Aristoteles Mukhaer, 2023), sebagai sikap trauma belanda terhadap kebersatuan kelompok agama dan keraton dalam perang jawa yang menyebabkan kerugian besar bagi belanda.

Setelah pengekangan aspek keagamaan oleh kolonial, banyak santri yang belajar ke Mekkah disaat disana juga berkembang pemikiran pembaharuan Islam, kemudian para santri dari Mekkah tersebut kembali ke Nusantara yang kemudian disebut Kaum Putih, muncul sebuah Keprihatinan terhadap dominasi Islam yang bersifat panteistik dan terkadang klenik di Nusantara, khususnya terkait dengan pengaruh keislaman yang berpusat di keraton. Pada saat yang sama, terjadi interaksi antara para ulama Nusantara dan para habaib dari Hadhramawt sebagai salah satu pusat Islam. Menurut Prof. Ismail Fajrie Alatas, penting untuk mengajarkan Islam yang lebih ortodoks, yang tradisional, setia pada nash, dan sesuai dengan pemahaman ulama salaf. Hal ini bertujuan agar ajaran Islam lebih mudah dipahami oleh masyarakat awam dan tetap murni, mencakup prinsip-prinsip dasar yang esensial. Para Kiai yang kemudian mendirikan Nahdlatul Ulama (NU) memiliki pandangan yang sejalan dengan para habaib, yaitu bahwa pemahaman keislaman masyarakat Nusantara pada masa itu masih rendah dan cenderung menjauh dari Islam yang murni, sehingga lebih dekat kepada praktik "kebatinan" atau "kejawen" (Haidar Bagir, 2023).

Terkait upaya purifikasi Islam, Haidar menanyakan perihal tarekat Alawiyah, yang juga dibahas dalam buku What Is Religious Authority? . Salah satu varian tarekat Alawiyah yang berakar di Indonesia dan berpengaruh besar adalah varian Haddadiyah. Menurut Haidar, tarekat Haddadiyah dirumuskan, antara lain, dengan aspirasi untuk melakukan purifikasi. Ismail menjawab bahwa apa yang dia sebut sebagai "paradigma Haddadiyah" memang merupakan aspirasi permunian. Di Hadramaut, pada masa Imam Al-Haddad (Abdallah ibn Alawi al-Haddad), tidak ada negara kuat dan terjadi konflik berkepanjangan. Kabilah-kabilah berperang, dan tidak ada basis stabil untuk pembentukan atau pembangunan masyarakat madani. Salah satu problem yang dilihat oleh Imam Al-Haddad adalah ketiadaan sebuah normativitas Islam yang seragam. Di setiap kawasan di Hadramaut, mereka mempunyai Sunnah masing-masing yang bersifat lokal, terbentuk dari pertemuan para ulama dengan kabilah-kabilah lokal. "Nah, Imam Al-Haddad ingin mencoba mempurifikasi ini dan membuat sebuah standar dan norma," kata Ismail. Namun, dia melanjutkan, asumsi seperti itu akan selalu gagal karena pada akhirnya kita tidak bisa mengandaikan orang yang mengaji kepada kitab-kitab Haddadiyah terlepas dari partikularitas masing-masing. Meskipun teks yang kita baca sama, varian-varian lokal dan partikular tetap akan membentuk persepsi terhadap teks-teks tersebut. "Memang ada ambisi purifikasi di satu sisi, tetapi kita juga harus memahami bahwa setiap ambisi purifikasi pada akhirnya akan gagal." Menurut Ismail, setiap proyek purifikasi akan selalu bergantung kepada objek-objek atau teks yang justru bisa menghambat purifikasi itu. Teks-teks Haddadiyah dianggap sakral, terus-menerus digunakan, dan pada abad ke-20, kaum modernis-reformis menganggap paradigma Haddadiyah—yang sebelumnya dianggap sebagai sebuah universalitas—tidak terlalu murni dan harus dikritik. "Jadi, di situlah saya pikir kita harus memahami bahwa memang pada akhirnya proyek purifikasi, apa pun itu, akan selalu gagal karena manusia terlalu kompleks, dan kultur terlalu kompleks, untuk bisa dipurifikasi, untuk bisa dimurnikan." Haidar kemudian menyinggung apa yang disebut sebagai "Islam keraton", atau kebatinan, yang mungkin sangat dipengaruhi oleh panteisme. Bagaimana nasib "Islam keraton" setelah paradigma Haddadiyah berhasil menancapkan pengaruhnya di Indonesia, khususnya di kalangan Islam tradisional atau Nahdlatul Ulama (NU)? Apakah "Islam keraton" ini habis sama sekali atau kemudian keluar dari Islam dan menjadi kebatinan? Ataukah Haddadiyah pada akhirnya harus berkompromi sampai batas tertentu dengan Islam keraton atau kebatinan itu?

Menurut Ismail, Islam berkembang di keraton jauh sebelum kemunculan varian tarekat Haddadiyah, yang kemudian dikenal sebagai tradisi Nahdlatul Ulama. Ismail memberi contoh, salah satu kitab luar biasa yang ditulis dan dirangkum oleh Keraton Surakarta adalah Serat Centhini. Teks ini luar biasa karena merangkum segala sesuatu yang harus diketahui oleh seorang Muslim Jawa, dari hukum menikah, hukum penyelenggaraan jenazah, cara membangun rumah, membuat keris, hingga cara menebang pohon jati. Hal-hal yang mencakup semua aspek kehidupan orang Jawa kala itu, baik sisi spiritual maupun kehidupan sehari-hari, terangkum dalam kitab itu. Ismail bertanya, mengapa kita tidak menyebut Serat Centhini sebagai kitab Sunnah? Padahal, di dalam kitab itu banyak ajaran yang didasarkan pada hadis, kitab fikih, kitab tasawuf, dan norma-norma tradisi Jawa. Alih-alih dianggap sebagai kitab Sunnah, kalangan Muslim yang menganggap dirinya mainstream justru menghakimi kitab itu sebagai buku sesat. Mengamati sejarah Islam di banyak tempat, kita akan melihat kitab-kitab serupa dengan Serat Centhini, meskipun kitab-kitab tersebut berisi Sunnah varian lokal yang sesuai dengan masyarakat pada zaman itu. Selain itu, terkait dengan ajaran Kejawen, ada kitab yang berkaitan dengan ajaran Martabat Tujuh, yaitu Serat Wirid Hidayat Jati. Dalam kitab ini, Ranggawarsita menjelaskan konsep Martabat Tujuh yang merupakan pengembangan ajaran tasawuf Ibn 'Arabi dan Muhammad Ibnu Fadlullah dalam kitab Al-Tuhfatu Mursalah ila Ruhin Nabi. Pada abad ke-19, dengan munculnya paradigma Haddadiyah dan gerakan reformis dari Mekah, kitab-kitab tersebut sudah tidak dianggap Sunnah, malah dianggap "Jawa", karena Sunnah yang dianggap sahih adalah yang berbasis pada Sahih Bukhari dan "kutub sittah" (teks-teks primer). Mereka ingin memurnikan banyak hal yang dianggap sesat, yang tidak sesuai dengan Sunnah yang sudah mereka patenkan. Sebagai reaksi, tradisi-tradisi lokal tersebut menyatakan bahwa mereka bukan bagian dari Islam. Bagi mereka, menjadi Muslim yang baik adalah menjadi Jawa yang baik. "Tapi, kaum santri mengatakan, oh tidak bisa, jika ingin menjadi Islam yang baik, banyak praktik Jawa yang harus kalian hilangkan," kata Ismail. "Akhirnya, mereka dimaknai sebagai kebatinan, mistik Jawa, dan lain-lain." Padahal, menurut Ismail, tradisi "Islam keraton" adalah realisasi dari Sunnah yang partikular. Sayangnya, wacana yang berkembang saat ini tentang "Islam Nusantara" dan lain-lain masih terpaku pada tradisi pesantren, tradisi Haddadiyah, tradisi habaib, dan lain-lain. "Kita kurang mengkaji teks-teks Jawa atau teks-teks Bugis, yang lebih lama, yang sebenarnya menjadi bagian atau pijakan orang dalam memahami keberagaman mereka yang sesuai dengan jati diri mereka sendiri dan kompleksitas kultur" (Ismail, 2021).

Pembelajaran Islam dan pengembangan pemikiran Islam yang lebih "standar" bahkan "puritan" yang diprakarsai oleh para habaib ini tidak mungkin terjadi tanpa adanya kesepakatan di antara para Kiai. Menurut Prof. Ajie, hal ini disebabkan oleh kesamaan visi-misi dan isnad di antara mereka. Isnad ini merujuk pada kenyataan bahwa banyak ulama Nusantara yang terlibat dalam pendirian Nahdlatul Ulama (NU) dan belajar dari para ulama habaib Hadhramawt, baik yang berada di Makkah (bahkan beberapa di antaranya menjadi mufti Makkah) maupun ulama Indonesia yang datang ke wilayah Nusantara, termasuk Indonesia dan Singapura. Hasilnya dapat dilihat pada penggunaan buku-buku ajar pendahuluan di banyak pesantren di Indonesia, seperti Safinah Al-Najah, Safinah Al-Shalah, Aqidah Al-‘Awam, Ar-Risalah Al-Jami’ah, Sullam Al-Tawfiq, dan Bughyat al-Mustarsyidin (Bagir, 2023), sebagai kitab yang praktis dan mudah dimengerti oleh awam untuk memperbaiki pengamalan syariat di nusantara yang saat itu masih panteistik pasca dikekangnya ajaran tarekat syatariyah oleh kolonial.

Di sisi lain, ulama tradisionalis di Indonesia banyak yang mengambil ajaran Wihdatul Wujud untuk diri mereka sendiri karena mereka telah menguasai syariat, yang dalam hal ini berupa fikih (Hukum Islam). Meskipun mereka menolak penyebaran paham pantheisme atau Wihdatul Wujud di kalangan orang awam, mereka tetap menjalankan ajaran tersebut secara tertutup untuk kepentingan pribadi mereka. Ajaran Wihdatul Wujud yang diterima terutama adalah Wihdatul Syuhud (ajarkan mengetahui sesuatu sebelum terjadi, yang dalam budaya Jawa dikenal dengan nama Weruh Sedurunge Winarah). Hal ini juga tercermin dalam sikap almarhum KH. Hasyim 'Asy'ari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU), yang menolak dirayakannya ulang tahun kematian beliau (haul) di Tebuireng, Jombang, setiap tahunnya. Beliau mengetahui dengan tepat bahwa suatu saat beliau akan disucikan (taqdisul maqbarah), namun beliau menyadari bahwa hal tersebut akan disalahartikan oleh orang awam, yang dapat mengarah pada pandangan yang berbahaya, yaitu menganggap beliau sebagai perwujudan Tuhan. Ajaran tersebut, jika disebarkan tanpa pemahaman yang benar, berisiko membawa ajaran pantheistik yang sesat. Dengan menggunakan pandangan ini, dapat dipahami bahwa kaum ulama tradisionalis tidak sepenuhnya menolak ajaran Wihdatul Wujud, namun mereka melarang penyebarannya secara gegabah. Meskipun terdapat perbedaan antara kaum syariat dan kaum kebatinan (kejawen), mereka tidak bertentangan secara prinsipil. Dengan kata lain, tidak ada pertentangan antara kaum Wihdatul Wujud (kebatinan/kejawen) dan kaum syariat yang menggunakan referensi fikih (Wahid, 2001).

 

Referensi :

Bagir, H. (2023, Oktober 5). Peran Habaib dalam Mengembangkan Islam Nusantara. Baca Nuralwala. https://baca.nuralwala.id/peran-habaib-dalam-mengembangkan-islam-nusantara/

Masrur, M. (2019). Mengaji Ulasan Wahdatul Wujud dalam Manuskrip Ulama Aceh. Bincang Syariah. https://bincangsyariah.com/khazanah/mengaji-ulasan-wahdatul-wujud-dalam-manuskrip-ulama-aceh/

Nasution, H. (1978). Falsafat dan Mistisisme. Jakarta: Bulan Bintang.

Mukhaer, A. A. (2023, April 24). Nasib Ulama Jawa Usai Gerilya Dipanagara Melawan Hindia Belanda. National Geographic Indonesia. https://nationalgeographic.grid.id/read/133765925/nasib-ulama-jawa-usai-gerilya-dipanagara-melawan-hindia-belanda?page=all

Ismail. (2021, Juli 30). What Is Religious Authority? Mau Jadi Otoritas Religius, Bangunlah Jamaah! Kutu Kata. https://kutukata.id/2021/07/30/utama/what-is-religious-authority-mau-jadi-otoritas-religius-bangunlah-jamaah/

Wahid, K. H. A. (2001). Tasawuf dan Kebatinan/Kejawen. Gusdur.net. https://gusdur.net/tasawuf-dan-kebatinan-kejawen/

 

 

Tags: