Minuman beralkohol atau minuman keras memiliki
dampak besar terhadap perilaku manusia dan sering kali dikaitkan dengan
tindakan kriminal. Dalam perspektif kriminologi, konsumsi alkohol secara
berlebihan dapat memicu berbagai kejahatan, mulai dari kekerasan hingga
penganiayaan. Etanol yang terkandung dalam minuman keras memiliki efek
psikoaktif yang mampu menurunkan kesadaran dan memengaruhi emosi serta kognisi
seseorang. Akibatnya, individu yang mabuk rentan melakukan tindakan di luar
kendali, seperti perkelahian atau bahkan pembunuhan. Sebagai contoh, penelitian
Rosa Amalia Fatma dan Triny Srihadiati menunjukkan bahwa kondisi mabuk dapat
mengurangi kemampuan berpikir rasional, sehingga meningkatkan potensi
terjadinya tindak pidana.
Teori kriminologi, seperti containment
theory, menjelaskan bahwa faktor internal dan eksternal memengaruhi
kecenderungan seseorang untuk berbuat kriminal di bawah pengaruh alkohol.
Contoh kasus yang sering muncul adalah tawuran antar kelompok remaja, yang
sering dipicu oleh konsumsi alkohol. Dalam kondisi mabuk, konflik kecil seperti
ejekan dapat berubah menjadi perkelahian besar. Penelitian menunjukkan bahwa
banyak remaja yang terlibat tawuran mengakui telah mengonsumsi alkohol
sebelumnya. Hal ini memperlihatkan betapa seriusnya dampak minuman keras dalam
memicu perilaku destruktif di masyarakat.
Dari segi hukum, pemerintah telah mengatur
peredaran dan penjualan minuman beralkohol melalui serangkaian peraturan,
seperti Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 20/M-Dag/Per/4/2014 dan
perubahannya hingga Permendag Nomor 25 Tahun 2019. Minuman beralkohol
dikelompokkan menjadi tiga golongan berdasarkan kadar etanolnya: Golongan A
(hingga 5%), Golongan B (5%-20%), dan Golongan C (lebih dari 20%). Penjualan
minuman beralkohol hanya diperbolehkan di tempat tertentu seperti hotel, restoran,
bar, serta toko bebas bea (toko
bebas bea merujuk pada tempat-tempat khusus
seperti bandara internasional di mana barang-barang, termasuk minuman
beralkohol, dapat dijual tanpa dikenakan bea masuk dan pajak. Toko ini biasanya
diawasi ketat dan hanya dapat diakses oleh orang-orang tertentu, seperti
penumpang internasional, sehingga tidak termasuk dalam kategori penjualan bebas
di masyarakat umum), dengan pembatasan usia pembeli minimal
21 tahun dan kewajiban menunjukkan identitas.
Pengawasan peredaran minuman beralkohol dilakukan
oleh tim terpadu yang melibatkan berbagai instansi, mulai dari dinas
perdagangan, Kesehatan, Trantib, hingga
aparat kepolisian. Penjualan di minimarket atau toko pengecer kecil telah
dilarang sejak diberlakukannya Permendag No. 6 Tahun 2015, yang menegaskan
bahwa penjualan minuman keras hanya dapat dilakukan di tempat yang sesuai
dengan ketentuan (hotel, restoran, bar, toko bebas bea, supermarket, dan
hypermarket), permendag ini juga menginstruksikan untuk menarik produk minuman
beralkohol Golongan A dari peredaran .
Di tingkat daerah, Peraturan Daerah Kota Bekasi Nomor 2 Tahun 2023 juga memperkuat upaya pengendalian melalui larangan penjualan minuman beralkohol yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Semua langkah ini bertujuan untuk meminimalkan dampak negatif minuman beralkohol terhadap masyarakat, terutama dalam mencegah tindak kejahatan yang disebabkan oleh konsumsi alkohol.
Aturan
ini dirancang untuk membatasi akses minuman beralkohol hanya di tempat-tempat
tertentu seperti bar, hotel, dan supermarket atau hypermarket. Tujuannya adalah agar kelompok masyarakat dengan ekonomi tertentu yang hanya dapat mengakses
minuman beralkohol sehingga dapat meminimalisir masalah sosial dan kejahatan di
masyarakat. Dengan adanya pembatasan ini, diharapkan dapat menciptakan
pengendalian yang efektif terhadap peredaran minuman beralkohol guna melindungi
kepentingan masyarakat umum.
Dalam
konteks penegakan hukum, teori Lawrence M. Friedman tentang sistem hukum
mengidentifikasi tiga komponen utama, yaitu struktur hukum, substansi hukum,
dan budaya hukum. Struktur hukum meliputi kinerja aparatur hukum
serta sarana dan prasarana pendukung, seperti pengadilan, yurisdiksi, dan
prosedur hukum. Substansi hukum mencakup peraturan perundang-undangan
yang sudah jelas melarang peredaran minuman beralkohol secara bebas, kecuali di
tempat tertentu. Budaya hukum mengacu pada kesadaran, nilai, dan sikap
masyarakat terhadap hukum.
Dalam
hal ini, substansi hukum terkait pengendalian minuman beralkohol telah
dirumuskan dengan tegas. Namun, implementasinya membutuhkan dukungan dari
struktur hukum melalui aparat penegak hukum yang bertugas mengawasi dan
menindak pelanggaran. Di sisi lain, budaya hukum masyarakat juga memiliki peran
penting dalam mendukung pengawasan. Kesadaran dan kepedulian masyarakat
terhadap aturan ini dapat menjadi elemen kunci dalam meminimalisir peredaran
minuman beralkohol yang melanggar ketentuan.