![]() |
Sumber Foto : https://images.app.goo.gl/YAy4RhvKA6xFQqwVA |
Salah satu kritik saya adalah kita terlalu banyak berdebat soal
akidah (yang sebenarnya tidak terlalu rumit) dan melupakan bagaimana
nilai-nilai agung dalam Islam dan Hukum Islam dapat digunakan untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Salah satu contoh yang saya bahas adalah
kajian mengenai hukum mengucapkan selamat natal yang rutin terjadi setiap
tahun, serutin debat soal "kita belum benar-benar merdeka" setiap
tanggal 17 Agustus atau "apakah Kartini sebenarnya pembela wanita atau bukan"
setiap hari Kartini.
Tetapi yang lebih menyedihkan lagi adalah bahwa
isu akidah ini seringkali dipakai untuk memanaskan situasi dan adu domba antar
umat beragama, bahkan pembantaian terhadap umat dengan agama atau aliran
lainnya. Seakan-akan kalau sudah soal akidah, menghalalkan darah pun tidak
apa-apa. Belum lagi kalau kemudian isu ini diperkeruh dengan aksi retorika yang
tidak bertanggung jawab, seakan-akan kita senantiasa berada dalam kondisi siap
berperang antar umat beragama. Apa manfaat dari kajian dan retorika seperti
itu?
Kita harus mengingat kembali bahwa bangsa
Indonesia merupakan bangsa dengan tingkat keragaman yang sangat tinggi. Fakta
bahwa bangsa ini masih bisa bertahan sampai sekarang dengan tingkat keragaman
tersebut sebenarnya sudah luar biasa mengingat potensi konflik tentu akan
selalu ada dan dalam beberapa kasus, tak bisa dihindari. Dengan situasi seperti
itu, kita tidak butuh tambahan bibit-bibit api yang dapat menimbulkan konflik
baru, kita justru butuh upaya-upaya yang dapat mengurangi konflik!
Isunya sederhana, konflik antar anggota
masyarakat tak pernah menguntungkan masyarakat secara keseluruhan. Lebih
tepatnya, konflik hanya akan menguntungkan sebagian kecil orang sementara
biayanya ditanggung banyak orang. Contoh konflik di Ambon dan Poso. Berapa
banyak nyawa dan harta terbuang? Berapa banyak investasi sosial (termasuk
kerukunan) yang sebelumnya sudah ada menjadi hilang? Apakah luka di hati
masing-masing pemeluk agama itu sudah sembuh sepenuhnya? Mungkin luka itu akan
permanen dan rasa ketidakpercayaan antar warga tidak akan pernah hilang,
walaupun bisa jadi sudah berkurang. Karena nila setitik, rusak susu sebelanga.
Belum lagi ongkos yang ditanggung karena agama
dicitrakan secara buruk. Saya tidak akan heran kalau ada orang yang memilih lari
dari agama atau menolak ide agama secara keseluruhan. Bicara bahwa inti dari
semua agama adalah soal kedamaian dan cinta kasih itu gampang. Tapi kalau
prakteknya diisi dengan bunuh-bunuhan dan kalimat kebencian, semua omongan
tentang kedamaian itu menjadi omong kosong. Bagaimana caranya kita bisa membela
kehormatan agama Islam kalau misalnya kasus pembunuhan orang Ahmadiyah di
Cikeusik dianggap angin lalu, atau pengusiran terhadap kaum Syiah di Sampang
dianggap sah-sah saja?
Saya bahkan tidak terlalu peduli bagaimana agama lain atau bangsa lain
memperlakukan umat Islam. Saya lebih peduli soal bagaimana umat Islam
memperlakukan orang lain, khususnya selaku mayoritas. Karena ini soal nama baik
umat Islam, yang seharusnya menduduki posisi utama bagi orang Islam (atau yang
mengaku ingin membela Islam). Kita bisa bilang bahwa pelaku pembunuhan dan
pengusiran itu hanyalah oknum, tapi kalau diam-diam ada orang yang mengaku
Islam dan menyetujui tindakan tersebut, misalnya karena itu adalah tindakan
retaliasi terhadap perlakuan terhadap umat Islam di belahan dunia lain, agama
Islam mungkin sudah berada dalam kondisi gawat darurat.
Kalau kita benar-benar mau lebih serius menghitung untung rugi tindakan kita,
mengurangi konflik antar umat adalah langkah yang paling rasional dan optimal.
Analoginya, ada satu perusahaan yang karyawannya selalu bertengkar antar
sesamanya padahal secara individu, masing-masing karyawan dibutuhkan untuk
meningkatkan produktivitas perusahaan. Bagaimana kita akan jadi produktif kalau
kita tak bisa bekerja sama dan saling percaya?
Dalam hal ini, saya berpandangan bahwa kajian akidah yang terlalu keras hanya
akan menciptakan bibit-bibit konflik. Bayangkan kalau hal yang sama
diulang-ulang terus setiap hari. Yang kita ingat cuma konflik di mana-mana.
Kita selalu diingatkan dengan luka lama, kita dianjurkan untuk curiga dengan
umat agama lain. Untuk apa? Padahal isu akidah itu sangat sederhana, setidaknya
untuk umat Islam.
Sayangnya, selama kondisi masyarakatnya masih malas mempelajari ilmu agama,
kajian akidah yang berlebihan ini menjadi sangat menarik. Mengapa demikian?
Karena isu akidah memang gampang untuk dibawa kemana-mana dan terkesan sangat
penting. Dalam kajian akidah, akidah adalah pilar utama agama. Kalau akidahnya
tidak benar, seorang muslim tidak bisa masuk surga. Dan kalau akidahnya sudah
benar, maka sekalipun hidupnya begajulan dan tak bermanfaat untuk dunia ini,
dia tidak akan di neraka untuk selamanya. Tambahkan pula konsep orang kafir
pasti masuk neraka, dan makin jumawalah perasaan orang-orang malas ini.
Penganjur kajian ini sendiri menurut saya tak bertanggung jawab karena
sebenarnya mereka sedang menjerumuskan umatnya sendiri. Bahkan jika seandainya
mereka berniat baik pun, niat itu tak mengurangi kadar kebahayaan mereka. Dalam
kitab Minhajul Abidin, Imam Al Ghazali mengingatkan bahayanya ahli
ibadah yang tak mau belajar dan mendalami agama, dan merasa cukup hanya dengan
beribadah secara ritual saja: mereka menjadi gampang ditipu oleh setan.
Apalagi kalau ternyata dibalik semua itu, hasrat duniawi untuk mendapatkan
harta dan ketenaran lebih dominan sebagai dasar untuk terus memberikan kajian
yang tak bertanggung jawab. Ya, saya sudah sampaikan bahwa ibadah itu soal untung rugi,
dan analisis untung rugi orang-orang ini salah maksimal, anda menjual agama
anda terlalu murah kalau anda mau menjerumuskan orang lain dengan imbalan tak
seberapa.
Isu akidah Islam sederhana: Tuhan hanya ada 1, yaitu Allah. Nabi terakhir
adalah Nabi Muhammad. Kitab suci Quran berasal dari Allah. Dan akan ada kiamat
suatu hari nanti sebagai hari pengadilan terakhir. Cukup sampai di situ dan
menurut saya kajiannya sudah lengkap. Jangan kebablasan seperti ahli teologi
yang bertengkar sampai saling membunuh dan menyiksa seperti kaum Mu'tazilah
yang tega menggunakan pengaruh politik untuk menyiksa ulama yang tak sependapat
dengan konsep kemakhlukan Qur'an dan kemudian ketika situasi politik berbalik,
mereka sendiri yang dibantai. Kekerasan agama cuma menciptakan lingkaran balas
dendam tak berkesudahan.
Apakah mengikuti hukum-hukum Tuhan masuk isu akidah? Menurut saya tidak karena
isu hukum selalu dapat diinterpretasikan secara berbeda. Kalau kita mau bicara
hal-hal apa yang sudah benar-benar disepakati dalam Islam, minimal kaum Sunni,
maka hanya ada 5 aspek yang sudah disetujui secara total. Muslim harus membaca
syahadat, sholat 5 waktu, puasa di bulan Ramadhan, membayar zakat, dan naik
haji apabila mampu. Teknis shalat, puasa, pembayaran dan besaran zakat serta
pelaksanaan haji itu penuh debat. Itu saja baru soal ibadah, belum masuk isu
muamalah!
Isu akidah bicara tentang kemutlakan. Dengan demikian, ia harus fokus pada hal
yang mutlak-mutlak saja karena ia tak bisa diubah lagi. Hukum bisa berubah,
memaksakan isu ini menjadi isu akidah hanya akan menambah konflik baru. Sebagai
contoh, karena perbudakan tidak pernah diharamkan secara mutlak, bagaimana kita
akan menyatakan bahwa perbudakan haram sementara Allah berkali-kali membahas
dalam Quran: jangan mengharamkan apa yang sudah dihalalkan oleh Allah? Menarik
ketika Yusuf Qardhawi seakan-akan sudah membahas semua hal di muka bumi ini
soal halal dan haram dalam bukunya "Halal dan Haram Dalam Islam",
tapi kelupaan membahas soal halal haramnya perbudakan. Faktanya, dalam kitab
fikih klasik, berhubungan seksual dengan budak tidak dikategorikan sebagai
perbuatan zina. Dengan demikian perbudakan tidak haram dalam konsep fikih
klasik karena kalau perbudakan haram, tentunya berhubungan seksual dengan budak
pun turut menjadi haram.
Atau bagaimana misalnya dengan pembatasan hak suami untuk menceraikan istrinya
hanya melalui pengadilan. Konsep ini tidak ada dalam hukum Islam klasik,
apalagi jaman Nabi. Dulu talak sah seketika setelah diucapkan oleh suami.
Apakah kita akan menyatakan bahwa konsep yang sekarang sudah dianut di banyak
negara Muslim ini (termasuk di Indonesia) adalah sesat dan ulama-ulama yang
mendukungnya kafir? Hanya orang tak berilmu yang gampang mengafirkan orang lain
karena berbeda pendapat. Ini mengapa isu hukum sebaiknya tidak dibawa ke dalam
ranah akidah.
Apalagi isu yang sebenarnya sangat remeh temeh seperti mengucapkan selamat
natal. Berapa banyak energi terbuang bahkan dari ulama mumpuni untuk membahas
pertanyaan-pertanyaan culun ini? Saya teringat Hadis Muslim nomor 5821 dimana
Nabi menyatakan bahwa salah satu orang Muslim yang paling berat dosanya adalah
dia yang membuat suatu hal yang tadinya tidak diharamkan menjadi haram karena
dia terlalu banyak bertanya kepada Nabi. Pesannya jelas, jangan menyusahkan
diri sendiri. Kaidah fikih yang terkenal dalam bidang muamalah: secara umum
semua hal diperbolehkan kecuali secara tegas dilarang. Quran pun sudah
mengingatkan melalui kisah kaum Yahudi dan sapi dalam Al-Baqarah. Mereka
awalnya hanya disuruh mencari satu ekor sapi betina, namun mereka terus menerus
bertanya dan mempersulit diri mereka sendiri sampai hampir-hampir mereka tidak
berhasil menemukan sapi yang dimaksud.
Isu natal ini kan mudah sekali. Apakah anda menganggap Yesus sebagai Tuhan
ketika mengucapkan selamat natal? Tidak? Selesai isunya. Tapi tentu ada saja
yang ribut bertanya terus karena tak puas, sampai kemudian kajian merambat
kemana-mana, termasuk soal konsep tasyabbuh (menyerupai umat
lain). Saya akan bahas lain kesempatan soal tasyabbuh melalui
pendekatan ekonomi. Tapi singkat kata, debat seperti ini buang-buang waktu.
Pernahkah terpikirkan bahwa orang lain menyaksikan debat kita soal isu ucapan
selamat natal? Mungkin mereka bingung, umat Muslim ini sedang ngapain
sebenarnya? Mereka meributkan musuh yang sebenarnya tidak ada. Delusional.
Di tingkat yang lebih buruk, isu yang juga kerap muncul adalah soal penyebaran
agama lain. Ucapan natal dan perayaan natal bersama misalnya dianggap sebagai
bagian dari upaya kristenisasi. Oleh karenanya, tindakan tersebut harus
dilarang. Toleransi standar dianggap sebagai bagian dari perusakan akidah.
Apalagi kalau sudah melibatkan aktivitas bantuan sosial. Unsur kristenisasi
makin kuat. Jaman saya masih sering membaca majalah Sabili dulu, isu
kristenisasi tak pernah usang. Kita semua sedang dalam keadaan perang.
Saya khawatir orang-orang ini lupa bahwa Islam mungkin adalah agama yang
pertama kali mengenalkan konsep insentif ekonomi untuk mencari pengikut baru. Ajaran
kristen klasik sangat asketis. Mengikuti Yesus berarti menderita dan hidup
sengsara. Islam menolak konsep itu (lihat Hadis Muslim No. 2587 soal larangan
ibadah yang menyakiti badan sendiri). Islam bahkan memasukkan mualaf,
orang-orang yang baru masuk Islam atau sudah condong untuk masuk Islam, sebagai
bagian resmi dari 8 kategori penerima zakat.
Dalam sejarah Islam pun, kaum-kaum yang ikut berperang bersama Nabi di
awal-awal masa penyebaran Islam menerima pembayaran tahunan yang lebih besar
dibandingkan dengan mereka yang berperang setelahnya. Mengapa? Karena mereka
yang sudah berjuang lebih lama dan lebih keras dibanding penerusnya lebih
berhak menerima upah yang lebih besar.
Kalau ini bukan penggunaan insentif ekonomi, saya tidak tahu lagi harus menyebutnya
sebagai apa. Islam jelas-jelas mengajarkan bahwa untuk menggaet hati anggota
umat baru, kita bisa memberikan mereka kompensasi finansial! Islam itu bicara
bisnis dan keuntungan. Kalau sampai ada umat Islam yang pindah agama karena
urusan harta, yang paling berdosa ya umat Islam sendiri! Sistem zakatnya
berarti tidak berjalan dengan baik sampai-sampai ada saudara Muslim yang lolos
ke agama lain. Konyol kalau kemudian menyalahkan agama lain karena kita sendiri
tidak mampu bersaing dengan sehat.
Menjadi ironis ketika Islam sudah mengembangkan konsep insentif ekonomi ini
jauh sebelum umat kristen menemukan konsep misionaris dengan menggunakan
bantuan sosial dan pendanaan yang lebih canggih dan sekarang kita cuma
mendapatkan buih-buih kotor dalam kaum kita, tak berduit, tak berdaya, dan
hanya bisa minta negara untuk melarang-larang umat lain menyebarkan agamanya.
Mungkin memang pantas kita disingkirkan dari tahta kekuasaan jaman dahulu.
Bagaimana tidak? Sedikit-sedikit minta bantuan penguasa layaknya anak cengeng
yang permennya direbut kemudian melapor ke orang tuanya. Lebih lucu lagi,
permennya sebenarnya tidak direbut, dia sendiri yang melempar permen itu, lalu
dipungut anak lain.
Dan yang paling parah dari semua itu, kajian akidah yang kebablasan ini juga
membuat sebagian kaum Muslim menjadi permisif terhadap kekerasan terhadap umat
lain, atau aliran lain. Katakanlah Ahmadiyah memang seharusnya tidak
mengaku-ngaku sebagai bagian dari Islam dengan konsep ajarannya yang tidak
sesuai dengan akidah Islam. Lantas kita berhak membunuh mereka? Atau kita juga
berhak mengusir kaum Syiah karena mereka percaya soal kekhilafahan Ali dan
keturunannya dan kita anggap sesat? Saya tidak tahu orang-orang yang merasa
akidahnya sudah sempurna itu belajar dari mana. Dari Nabi atau dari Abu Lahab,
Abu Jahal dan konco-konconya?
Kemungkinan besar yang kedua, karena tingkah laku yang gemar mengusir dan
membunuh orang dari aliran lain ini persis seperti apa yang dilakukan oleh kaum
penyembah berhala di masa jahiliyah terhadap komunitas Muslim yang merupakan
kaum minoritas. Apa bedanya? Menurut kaum penyembah berhala ini, orang-orang
yang menyembah Allah itu telah menistakan Latta dan Uzza. Kaum minoritas ini
pantas disiksa, dicaci dan dibunuh. Rupa-rupanya bagi orang-orang yang
mendukung pengusiran dan pembantaian itu, setelah kaum Muslim menjadi
mayoritas, mereka berhak mengikuti gaya kaum jahiliyyah. Saatnya balas dendam.
Masalahnya lagi-lagi citra umat Islam secara keseluruhan yang terkena
dampaknya. Pernahkah kaum pendukung kekerasan ini berpikir kalau tingkah laku
mereka itu sama saja menyatakan bahwa Nabi dan para Sahabatnya dulu sebenarnya
hanya membuat pencitraan. Nabi pura-pura baik dan ramah ketika masih jadi
minoritas dan sedang dalam proses mengembangkan kekuasaan Islam. Tetapi setelah
jadi mayoritas, muncul wajah aslinya, wajah kebuasan yang sama yang menyiksa
kaum minoritas Muslim ketika mereka masih tinggal di Mekkah selama 13 tahun.
Saya sih jelas tidak percaya bahwa pribadi terbaik dalam Islam adalah seorang
penipu.
Anda pikir anda bisa bebas saja merusak nama baik Islam tanpa ada
pertanggungjawaban kelak? Anda pikir retorika omong kosong anda soal kemurnian
agama itu akan melindungi anda nanti di hari akhir? Saya hanya mengucapkan,
semoga anda beruntung kelak, karena tanda-tandanya tak baik. Kita semua tahu
Abu Lahab masuk neraka dan namanya diabadikan dalam Al-Quran. Prestasi luar
biasa sebagai penjahat. Tak lupa pula istrinya ikut diabadikan sebagai tukang
fitnah. Lengkap.
Sebagai penutup, banyak yang bisa kita pelajari dari kasus kaum jahiliyyah.
Sekarang mungkin gampang bagi anda untuk menyatakan betapa bodohnya kaum
penyembah berhala itu, kok batu disembah? Masalahnya dulu kaum penyembah
berhala itu berkuasa penuh dan mereka juga bisa bilang hal yang sama ke umat
Muslim, sesuatu yang tak terlihat kok disembah? Ini mengapa saya khawatir
sekali soal Undang-Undang Penistaan Agama, di tangan mayoritas yang bodoh dan
kasar, kaum minoritas akan menderita seperti waktu di Mekkah dulu.
Lebih baik kita bebaskan semua agama untuk bersaing secara sehat dalam menggaet
umat. Tidak perlu khawatir. Kalau kita percaya diri dengan kemampuan kita, baik
secara keilmuan maupun finansial, kalau kita percaya bahwa Islam seharusnya
menjadi pemenang, mau ada "serangan" apapun dari luar, tidak ada yang
perlu ditakuti.
Lagipula, tak ada gunanya juga curiga dengan umat lain atau ketakutan bahwa
iman kita akan tergerogoti. Saya 12 tahun bersekolah di sekolah kristen
protestan dan katolik, ikut misa, ikut paduan suara dan bahkan jadi solis untuk
merayakan 70 tahun sekolah saya dulu. Nilai agama saya juga rata-rata selalu
paling tinggi di kelas. Apakah kemudian saya jadi pindah agama? Atau menjadi
yakin dengan keimanan kristen? Sama sekali tidak.
Apakah kemudian saya harus membenci mereka atau perang dengan orang yang beda
agama? Kepala keluarga angkat saya di Chicago adalah seorang pendeta. Keluarga
mereka mungkin adalah keluarga paling ramah dan baik yang pernah saya temui
(jauh lebih baik dibanding kebanyakan orang Indonesia yang saya temui). Kita
bisa hidup damai dan bercengkerama dengan baik tanpa perlu meributkan soal
akidah masing-masing!
Saya tidak ambil pusing dengan konsep yang menurut saya salah. Saya juga tidak
peduli apakah kelak semua orang kafir akan masuk neraka atau tidak. Karena
jujur saja, itu bukan urusan saya. Nilai Islam yang saya pelajari peduli pada
isu-isu aktual di masyarakat, soal memajukan kesejahteraan dan menjadi orang
yang berguna. Masalah siapa yang masuk surga dan neraka, saya serahkan pada
Allah. Lagian, kita sendiri saja tidak tahu kita akan masuk surga atau neraka,
kok merasa diri sudah jagoan mengurusi orang lain akan masuk mana, apalagi
kalau sampai memanas-manasi orang lain untuk berkonflik ria.
Ketika kita menyusun kebijakan publik, efeknya riil, bisa diukur walau tak
sempurna, dan bisa dilihat apakah ada manfaatnya atau tidak. Bicara akidah?
Bicara surga dan neraka? Terlalu jauh dan tak bisa kita kontrol. Jadi untuk apa
ribut terus menerus? Jangan dibikin ribet. Waktu kita terbatas, beranjaklah
dari soal akidah ke hal-hal lain yang lebih konkrit, semacam soal hukum,
ekonomi dan ilmu-ilmu lainnya. Terus menerus berkutat di isu akidah ini ibarat
anak SD yang tak ingin lulus dari SD menuju ke jenjang pendidikan yang lebih
tinggi, walaupun dia sudah puluhan tahun di sana. Jangan sampai kita menjadi
orang-orang yang merugi karena tak mau maju.
Artikel Ini ditulis oleh
Pramudya A. Oktavinanda, PhD.,