Ramai Kontroversi Transgender Isa Zega: Antara Dugaan Penistaan Agama dan Kebebasan Beribadah

Ansor sumur batu
By -

 

Isa Zega, yang memiliki nama asli Sahrul Isa, menjadi sorotan setelah fotonya di depan Ka'bah dengan mengenakan busana perempuan berwarna putih viral di media sosial. Aksi tersebut memicu kontroversi yang berujung pada pelaporan dirinya ke Polres Metro Jakarta Selatan oleh Hanny Kristanto atas dugaan penistaan agama. Anggota DPR RI dari Fraksi PDIP, Mufti Anam, turut menyoroti peristiwa ini, menyebut tindakan Isa Zega sebagai bentuk nyata penodaan agama. Pernyataan tersebut dilandasi oleh laporan masyarakat yang menilai tindakan Isa Zega tidak sesuai dengan norma keagamaan dan dianggap melecehkan nilai-nilai agama.

Dugaan penistaan agama ini merujuk pada Pasal 156a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang diatur melalui Penetapan Presiden Republik Indonesia No. 1/PNPS Tahun 1965. Pasal tersebut menetapkan bahwa siapa pun yang secara sengaja di muka umum melakukan tindakan permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap agama dapat dipidana maksimal lima tahun. Penjelasan resmi pasal ini menegaskan bahwa perbuatan yang bermaksud menghina atau memusuhi agama adalah tindak pidana. Namun, pandangan objektif atau ilmiah tentang agama yang tidak disertai unsur penghinaan tidak termasuk dalam kategori ini.

Meski demikian, legalitas PNPS 1965 sering menjadi perdebatan. Secara hierarki, sebuah penetapan presiden seharusnya tidak dapat menambahkan atau mengubah ketentuan dalam KUHP tanpa melalui prosedur legislasi formal. Namun, dalam praktiknya, PNPS 1965 tetap dianggap sah sebagai landasan hukum untuk menangani kasus-kasus penistaan agama.

Penghinaan agama adalah isu hukum yang sangat kompleks, karena melibatkan banyak elemen subjektif. Agama, sebagai konsep abstrak, tidak memiliki perasaan atau kesadaran untuk merasakan penghinaan. Lalu, jika sebuah agama memiliki jumlah pemeluk yang sangat banyak, misalnya seratus juta orang, apakah satu juta individu bisa mewakili agama mereka untuk menuntut seseorang yang diduga menghina agama? Apa dasar yang digunakan untuk menentukan apakah suatu pernyataan atau tindakan benar-benar merupakan penghinaan terhadap agama tersebut? Bagaimana jika sebagian besar pemeluk agama itu tidak merasa dihina oleh tindakan tersebut? Dalam hal ini, apakah perlu diadakan musyawarah atau voting di antara seluruh pemeluk agama untuk memutuskan apakah tindakan itu merupakan penghinaan dan siapa yang berwenang untuk melaporkannya? Ini menjadi semakin rumit dan tidak masuk akal apabila sistem ini diterapkan secara praktis.

Di dalam prinsip hukum pidana, terdapat doktrin yang menyebutkan bahwa hukum pidana adalah ultimum remedium, yaitu sebagai langkah terakhir dalam menyelesaikan permasalahan hukum. Walaupun para pemikir hukum klasik mungkin tidak terlalu memperhatikan aspek ekonomi, mereka menyadari bahwa hukum pidana tidak boleh digunakan sembarangan. Penerapan hukum pidana membutuhkan keterlibatan aktif dari negara dan aparat penegak hukum. Hal ini berbeda dengan hukum perdata, yang lebih bersifat pasif dan bergantung pada para pihak yang terlibat dalam perkara tersebut untuk mendanai proses pengadilan. Tanpa penegakan hukum yang serius, hukuman pidana hanya akan menjadi ancaman kosong yang tidak memberikan dampak yang berarti.

Untuk memberi gambaran lebih jelas, mari kita ambil contoh mengenai hukuman mati. Banyak yang berpendapat bahwa hukuman mati bisa mengurangi kejahatan dengan cara yang efektif. Namun, logika ini bisa dianggap keliru. Meskipun ada ancaman hukuman mati dengan probabilitas 100% terhadap semua pelaku kejahatan, jika hanya 10% dari mereka yang tertangkap dan dijatuhi hukuman mati, maka efeknya terhadap angka kejahatan tidak akan terlalu besar. Hal ini menunjukkan bahwa untuk sebuah sanksi pidana memiliki efek nyata, harus ada sistem penegakan hukum yang bekerja secara efektif, memastikan bahwa pelaku benar-benar mendapatkan konsekuensi dari tindakannya. Tanpa penegakan yang jelas dan konsisten, ancaman hukum hanya akan menjadi sekadar simbol tanpa pengaruh signifikan.

Penegakan hukum merupakan proses yang tidak hanya melibatkan pengeluaran biaya untuk menggaji aparat penegak hukum seperti polisi, hakim, dan jaksa, tetapi juga mencakup berbagai biaya lain yang muncul akibat penyalahgunaan wewenang, ketidakpahaman terhadap hukum yang berlaku, serta penjatuhan hukuman atau sanksi yang tidak tepat. Biaya-biaya ini, yang sering kali tersembunyi, dapat memperburuk efektivitas sistem hukum yang ada. Dalam konteks ini, kita harus menyadari bahwa sistem pidana yang ideal tidak dapat terwujud jika sumber daya yang tersedia terbatas. Oleh karena itu, penegakan hukum harus dilakukan dengan bijak, memperhitungkan segala kemungkinan pengeluaran yang tidak perlu dan meminimalisir potensi kesalahan dalam penerapan hukum.

Kondisi ini menuntut adanya pemilihan prioritas dalam penegakan hukum, terutama dalam menentukan jenis tindak pidana mana yang perlu mendapatkan perhatian lebih besar. Untuk itu, sangat penting untuk mengidentifikasi tindak pidana yang paling merugikan masyarakat luas, agar sumber daya hukum dapat difokuskan pada upaya pemberantasan tindak pidana yang dampaknya lebih besar. Semakin besar kerugian yang ditimbulkan oleh suatu tindak pidana terhadap kepentingan publik, semakin banyak sumber daya yang perlu digerakkan untuk penanggulangan tindakan tersebut. Hal ini menciptakan suatu bentuk strategi hukum yang lebih efektif dan efisien dalam menciptakan sistem hukum yang berkeadilan.

Dalam hal ini, pertanyaan yang muncul adalah: apa itu tindak pidana? Dalam perspektif hukum, jawabannya sederhana, yakni segala tindakan yang dirumuskan sebagai tindak pidana oleh hukum yang berlaku. Namun, dari sudut pandang ekonomi, tindak pidana dapat didefinisikan lebih luas sebagai tindakan yang menyebabkan kerugian, baik secara pribadi maupun sosial. Tetapi tidak semua tindakan yang merugikan perlu mendapat penanganan melalui jalur pidana, karena banyak tindakan merugikan yang tidak cukup untuk digolongkan sebagai tindak pidana.

Yang perlu diprioritaskan adalah tindakan yang tidak hanya merugikan individu, tetapi juga berdampak luas pada masyarakat dan kepentingan umum. Tindak pidana yang memiliki potensi merugikan banyak pihak, sementara memberi keuntungan bagi segelintir orang, seperti korupsi atau perusakan lingkungan hidup, menjadi salah satu contoh tindak pidana yang patut untuk segera diatasi. Sebaliknya, jika suatu tindakan merugikan hanya sebagian kecil pihak dan dampaknya tidak terlalu jelas, maka prioritas untuk menyelesaikan masalah tersebut melalui ranah pidana pun menjadi lebih rendah. Dengan demikian, penegakan hukum harus lebih selektif dan berfokus pada tindak pidana yang paling besar dampaknya bagi masyarakat.

Dalam kehidupan bermasyarakat, berbagai tindakan yang merugikan seseorang atau kelompok sering kali menjadi objek hukum. Salah satunya adalah kasus pencurian, yang jelas memiliki objek yang dapat diidentifikasi—barang yang dicuri—dan kerugian yang timbul juga sangat jelas. Dalam konteks ini, tidak ada toleransi bagi tindakan yang merusak tatanan sosial. Jika pencurian dibiarkan, maka masyarakat akan kehilangan rasa aman, yang pada gilirannya mengarah pada peningkatan biaya untuk perlindungan harta benda. Bayangkan jika kita hidup dalam masyarakat yang pencurian dianggap biasa, dimana kenikmatan yang diperoleh oleh pencuri lebih besar dari korban, yang justru merugikan banyak pihak lainnya. Kepercayaan antar anggota masyarakat bisa runtuh, dan biaya untuk melindungi aset pribadi akan melambung tinggi. Oleh karena itu, penting bagi hukum untuk menjaga agar pencurian tidak dibiarkan begitu saja, meskipun si pelaku mungkin merasa mendapatkan keuntungan besar.

Namun, persoalan menjadi lebih rumit saat membahas kasus penghinaan, yang menggabungkan unsur subjektif dan objektif. Sebuah kata yang dianggap hina oleh satu orang, seperti "babi", bisa saja dianggap sebagai bentuk keakraban oleh orang lain yang memiliki hubungan dekat. Kerugian yang timbul akibat penghinaan juga sulit untuk diukur. Seberapa besar kerugian yang dialami seseorang hanya karena merasa dihina? Apakah kerugian itu bisa dihitung dengan uang? Tentu saja, hal ini menjadi sangat subjektif, karena perasaan marah atau tersinggung tidak selalu sebanding dengan nilai material yang bisa dihitung.

Lebih kompleks lagi, ketika berbicara tentang penodaan agama, kita dihadapkan pada pertanyaan apakah sebuah perasaan dari sekelompok orang bisa dijadikan dasar untuk menjatuhkan hukuman terhadap seseorang. Dalam hal ini, masalahnya adalah siapa yang mewakili umat agama tersebut dalam menentukan apakah sebuah tindakan sudah memenuhi syarat sebagai penodaan agama? Apakah mayoritas umat berhak menentukan sesuatu yang menjadi dasar pidana? Jika sebagian kecil umat Islam merasa tersinggung, apakah ini cukup untuk menyatakan bahwa seseorang harus dihukum karena diduga telah menodai agama Islam? Padahal, jika dilihat dari jumlah penduduk Muslim Indonesia yang lebih dari 200 juta, perasaan sekelompok kecil orang tentu tidak mewakili suara mayoritas. Maka, apakah kita bisa mengandalkan jumlah orang yang merasa tersinggung sebagai dasar pemidanaan?

Selanjutnya, pertanyaan mengenai standar rasa sakit hati yang bisa menyebabkan pidana juga patut dipertimbangkan. Apakah setiap orang yang merasa sakit hati tanpa alasan yang jelas bisa langsung mempidanakan orang lain? Atau harus ada dasar yang jelas mengapa seseorang merasa tersinggung atau marah? Jika rasa sakit hati disebabkan oleh kemarahan buta tanpa alasan yang jelas, apakah itu cukup untuk dijadikan alasan hukum untuk mempidanakan seseorang? Sistem hukum yang mengandalkan hal seperti ini tentu akan mudah disalahgunakan, dan bisa membingungkan dalam menentukan batasan yang jelas mengenai apa yang bisa dipidana atau tidak. Sebab, jika setiap kali seseorang merasa tersinggung dan mempidanakan orang lain, kita bisa bayangkan betapa kacau sistem hukum tersebut.

Menggunakan standar perasaan subjektif dalam menentukan kapan penghinaan atau penodaan agama terjadi dapat memicu perdebatan yang tak pernah selesai. Ambil contoh penggunaan istilah "kafir". Bagi sebagian orang, menyebut seseorang kafir mungkin dianggap biasa saja, tetapi bagi yang bersangkutan, istilah tersebut bisa terasa menghina, mengingat konotasi negatif yang melekat pada kata tersebut. Dalam hal ini, meskipun pada dasarnya seseorang berhak untuk berbicara sesuai keyakinannya, apakah klaim seperti ini tidak bisa dianggap sebagai bentuk penodaan terhadap agama lain?

Contoh lain yang sering muncul adalah perbedaan pandangan fundamental antara dua agama, seperti pandangan agama A yang memiliki keyakinan tertentu tentang Tuhan, sementara agama B memiliki pandangan yang berbeda. Perbedaan ini adalah pokok ajaran masing-masing agama. Namun, apakah hal tersebut otomatis berarti kedua belah pihak saling menodai keyakinan agama lainnya, hanya karena tidak mengakui ajaran dasar masing-masing? Apakah kegiatan dakwah yang mengajarkan perbedaan ini, secara langsung atau tidak langsung, dapat dianggap sebagai bentuk penodaan agama? Ini adalah persoalan yang memerlukan pemahaman lebih dalam dan tidak bisa diselesaikan hanya dengan perasaan subjektif.

Tidak jarang kita mendengar ucapan dari seorang khatib Jumat yang, meskipun mungkin dianggap biasa oleh sebagian kalangan, sesungguhnya bisa sangat menyakitkan bagi umat agama lain. Misalnya, pernyataan yang menyebutkan bahwa penganut agama A tidak bisa dipercaya dan berniat jahat terhadap umat agama B. Pernyataan seperti ini, jika diucapkan dengan suara lantang di depan ratusan jamaah, tentu dapat dianggap sebagai penghinaan oleh penganut agama A, karena menggeneralisasi dan menyudutkan mereka sebagai kelompok yang buruk. Dalam hal ini, apakah kita bisa berargumen bahwa pernyataan tersebut sah-sah saja hanya karena mayoritas masyarakat adalah penganut agama B? Apakah mayoritas kemudian memberikan hak untuk menindas minoritas? Ini adalah isu yang sangat penting dan perlu direnungkan lebih dalam, mengingat pentingnya menjaga hubungan antar umat beragama dalam masyarakat yang majemuk.

Penistaan agama, termasuk dalam bentuk penghinaan terhadap agama, kitab suci, atau simbol-simbol keagamaan, sering dianggap sebagai pelanggaran serius terhadap hak Allah dalam hukum pidana Islam. Tindakan ini dapat mengganggu kehormatan agama dan merusak tatanan sosial yang dibangun atas dasar penghormatan terhadap ajaran dan kepercayaan yang dianut oleh umat Islam. Dalam konteks ini, penistaan agama dianggap sebagai pelanggaran yang sangat sensitif karena menyangkut perkara sakral yang tidak hanya berdampak pada individu, tetapi juga dapat menimbulkan kerusuhan atau ketegangan di masyarakat. Sebagai contoh, tindakan penghinaan terhadap Nabi Muhammad SAW, kitab Al-Qur’an, atau simbol-simbol Islam lainnya, termasuk dalam kategori pelanggaran terhadap hak Allah, karena ini adalah tindakan yang mengancam integritas ajaran agama Islam itu sendiri.

Dalam fiqih jarimah, penistaan agama yang dilakukan secara terang-terangan dianggap sebagai pelanggaran yang memiliki hukuman yang berat, terutama jika dilakukan dengan sengaja dan terbuka. Pembuktian dalam kasus penistaan agama pun harus sangat ketat, mengingat beratnya konsekuensi hukum yang dapat ditimpakan. Jika ada orang yang dihukum karena penistaan agama, maka harus ada bukti yang sangat kuat, seperti saksi yang dapat membuktikan niat jahat pelaku untuk menghina agama, atau bukti yang jelas mengenai tindakan yang dilakukan pelaku. Dalam hal ini, prinsip "Dar’ul hudud bisy syubhat" juga berlaku, yang artinya jika ada keraguan dalam pembuktian, maka hukuman hudud, seperti hukuman mati atau potong tangan, harus dihindari.

Dalam Islam, ada ajaran yang menganjurkan untuk menutupi aib dan memberikan kesempatan untuk bertaubat. Jika penistaan agama dilakukan secara privat dan tidak menimbulkan kerusuhan publik, maka lebih disarankan untuk memberikan ruang bagi pelaku untuk bertobat kepada Allah tanpa harus mengungkapkan aib mereka secara terbuka. Hal ini sejalan dengan prinsip dasar Islam yang mengedepankan rahmat dan pengampunan, serta berusaha untuk meminimalisir dampak sosial yang ditimbulkan oleh perbuatan tersebut. Namun, jika tindakan penistaan agama tersebut mengarah pada penyebaran kebencian atau provokasi yang dapat membahayakan kestabilan masyarakat, maka tindakan hukum yang lebih tegas diperlukan untuk melindungi kemaslahatan umat dan menjaga kehormatan agama.

Penistaan agama yang dilakukan secara terbuka, terutama dengan tujuan untuk menghina atau merendahkan keyakinan umat Islam, harus diperiksa dengan hati-hati dalam sistem peradilan Islam. Hal ini untuk memastikan bahwa tidak ada kesalahan dalam menilai niat dan konteks dari tindakan tersebut, agar hukuman yang dijatuhkan sesuai dengan prinsip keadilan dan tidak mengorbankan kepentingan sosial dan agama yang lebih besar. Islam, dengan prinsip kehati-hatian dan pembuktian yang ketat, berusaha untuk mencegah terjadinya penghakiman yang tidak adil, serta menjaga kehormatan agama dan individu di mata masyarakat.

 

Referensi : Pramoctavy. (2016, November). Memahami Penodaan Agama Seutuhnya. Pramoctavy. Retrieved from https://www.pramoctavy.com/2016/11/memahami-penodaan-agama-seutuhnya.html?m=1

Tags: