Hukum Menerima Uang atau Barang dari Calon Kepala Daerah dalam Pilkada: Perspektif Fiqh dan Prinsip Pemilu Demokratis

Ansor sumur batu
By -
Ilustrasi


Dalam Pilkada, pemberian uang, barang, atau sembako dari calon kepala daerah kepada pemilih untuk memengaruhi pilihan mereka adalah bentuk politik uang yang bertentangan dengan asas pemilu yang Luber (langsung, umum, bebas, rahasia) serta Jurdil (jujur dan adil). Dari perspektif hukum Islam, tindakan ini mengandung unsur yang menyalahi prinsip syariat, baik nilai barangnya besar atau kecil.

Secara fiqh, politik uang ini tergolong dalam kategori risywah (رشوة) atau suap, yang dilarang keras dalam Islam. Rasulullah SAW bersabda:  "لَعَنَ اللهُ الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ"  ("Allah melaknat pemberi suap dan penerima suap") (HR. Abu Daud dan Tirmidzi). Perbuatan memberi atau menerima uang atau barang, meskipun nilainya kecil, demi mempengaruhi pilihan menciderai kejujuran dan keadilan, serta tetap masuk dalam praktik risywah yang dilarang.

Dari sudut ushul fiqh, kaidah  درء المفاسد مقدم على جلب المصالح  ("Menghilangkan kemudharatan itu lebih didahulukan daripada mengambil sebuah kemaslahatan") sangat relevan. Dalam hal ini, menghindarkan kemudaratan berupa politik uang lebih utama daripada mengambil kemaslahatan sesaat yang diterima dari barang atau uang bernilai kecil. Kemudharatan politik uang, seperti potensi korupsi dan rusaknya demokrasi, jauh lebih besar dampaknya terhadap tatanan sosial dan moral bangsa daripada sekadar menerima manfaat materi yang kecil.

Prinsip pemilu yang Luber dan Jurdil bertujuan untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dan bertanggung jawab. Prinsip kebebasan pemilih harus dilindungi dengan tidak menerima iming-iming materi, karena penerimaan barang atau uang, sekecil apapun, merusak prinsip kebebasan (freedom of choice) dalam memilih calon yang benar-benar berkualitas.

Ulama kontemporer melalui fatwa-fatwa mereka menyatakan bahwa meskipun nilainya kecil, menerima uang atau barang dari calon kepala daerah tidak dibenarkan. Hal ini membuka celah korupsi dan menyalahgunakan kepercayaan publik jika calon terpilih nanti merasa "membeli" suara masyarakat. Prinsip ushul fiqh  سَدّ الذرائع sadduz-dzara’i, menutup pintu kemudharatan) mengajarkan bahwa mencegah hal-hal yang dapat mengarah pada keharaman lebih utama, sehingga menolak pemberian dengan motif politik uang, sekecil apapun, adalah upaya menjaga integritas pemilu dan pemerintahan.

Di Indonesia, Undang-Undang Pemilu pun melarang pemberian uang atau barang dari calon kepada pemilih. Oleh karena itu, dari sudut pandang syariat maupun hukum negara, menjaga kemandirian dan kebersihan proses pemilihan dari pengaruh materi adalah langkah penting demi pemerintahan yang amanah dan berorientasi pada kemaslahatan masyarakat.