Jakarta, 2024– Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota mencatatkan sejarah sebagai salah satu undang-undang dengan usia terpendek di Indonesia. UU ini disahkan pada 2 Oktober 2014 dan mengatur bahwa pemilihan kepala daerah dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), menggantikan sistem pemilihan langsung oleh rakyat.
Pengesahan UU ini menimbulkan banyak kontroversi di kalangan publik dan politisi. Salah satu yang menjadi sorotan adalah kembalinya mekanisme pemilihan kepala daerah ke tangan DPRD, yang sebelumnya dilakukan melalui pemilihan langsung oleh rakyat sejak era reformasi. Sejumlah organisasi besar, seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, pada waktu itu mendukung gagasan untuk mengembalikan Pilkada ke DPRD dengan alasan efisiensi dan mengurangi biaya politik yang tinggi.
Namun, keberadaan UU Nomor 22 Tahun 2014 tidak berlangsung lama. Hanya dua hari setelah disahkan, pada 4 Oktober 2014, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mencabut UU ini melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2014. Langkah tersebut diambil SBY sebagai tanggapan atas reaksi publik yang sangat besar terhadap pengesahan UU tersebut. Banyak pihak menilai bahwa pengembalian Pilkada ke DPRD adalah langkah mundur dalam demokrasi Indonesia.
Keputusan untuk mencabut UU ini dan menerbitkan Perpu mendapat dukungan luas dari berbagai kalangan, termasuk partai politik dan organisasi masyarakat. Perpu tersebut kemudian disetujui oleh DPR, sehingga sistem pemilihan kepala daerah langsung kembali diterapkan.
Perdebatan mengenai mekanisme terbaik untuk memilih kepala daerah terus berlanjut, namun peristiwa pengesahan dan pencabutan UU Nomor 22 Tahun 2014 ini tetap menjadi salah satu momen penting dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, mencerminkan dinamika politik yang cepat berubah dan respons pemerintah terhadap aspirasi masyarakat.