Insan al-Kamil dan Kemerdekaan

Ansor sumur batu
By -

 

Bung Karno didampingi oleh Bung Hatta , Ketika memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.


Setiap kali bulan Agustus tiba, kita kembali diingatkan pada makna kemerdekaan. Para pendiri bangsa telah mengorbankan darah dan air mata demi satu kata " merdeka ". Namun, apakah kemerdekaan itu cukup dimaknai sebatas lepas dari penjajahan fisik? Ataukah ia memiliki makna yang lebih dalam, yang menyentuh batin dan jiwa manusia?


Dalam khazanah Islam, khususnya tasawuf, kita mengenal sebuah konsep yang disebut Insan al-Kamil (manusia paripurna). Istilah ini banyak dikembangkan oleh para sufi besar seperti Ibnu ‘Arabi. Insan al-Kamil adalah sosok manusia yang mampu memantulkan sifat-sifat Ilahi dalam dirinya (adil, penuh kasih sayang, bijaksana, dan menjadi rahmat bagi semesta).


Jika dikaitkan dengan kemerdekaan, maka manusia yang merdeka sejati bukan hanya mereka yang bebas dari penjajahan bangsa lain. Lebih dari itu, kemerdekaan adalah kebebasan batin (bebas dari ketakutan, dari belenggu nafsu, dari kerakusan, serta dari kecenderungan menindas sesama). Seorang Insan al-Kamil justru mencapai puncak kemerdekaan ketika hanya tunduk kepada Allah, dan tidak diperbudak oleh apa pun selain-Nya.


Inilah pula yang diajarkan Nabi Muhammad ﷺ ketika beliau mendeklarasikan kalimah tauhid lā ilāha illallāh. Kalimat sederhana itu sejatinya adalah proklamasi kemerdekaan manusia, bahwa tidak ada yang patut disembah selain Allah, dan karena itu tidak seorang pun berhak memperbudak manusia lainnya. Tauhid memutus rantai perbudakan sosial, politik, dan spiritual, sehingga setiap insan memiliki harga diri yang sama di hadapan Allah. Dengan kalimat itu, Nabi membebaskan manusia dari segala bentuk penjajahan, baik penjajahan batin oleh hawa nafsu maupun penjajahan lahir oleh kekuasaan zalim.


Bangsa yang merdeka akan kuat bila di dalamnya lahir pribadi-pribadi yang mendekati derajat Insan al-Kamil. Sebab, kemerdekaan tanpa fondasi spiritual hanya akan melahirkan kebebasan semu, negara bisa saja merdeka di atas kertas, tetapi warganya masih terjajah oleh korupsi, keserakahan, dan ketidakadilan.


Maka, peringatan kemerdekaan seharusnya tidak hanya menjadi seremoni tahunan. Ia adalah momentum untuk bercermin,  sudahkah kita menjadi manusia merdeka? Sudahkah kita mendekat pada cita-cita insan paripurna yang tidak hanya bebas secara lahiriah, tetapi juga merdeka dalam jiwa, sehingga bisa menghadirkan kebaikan bagi orang banyak?


Kemerdekaan sejati adalah ketika bangsa ini melahirkan manusia-manusia yang tidak lagi diperbudak oleh hawa nafsu dan ego, melainkan mampu mengabdi kepada Tuhan dan menebar manfaat bagi sesama. Itulah jalan menuju Indonesia yang benar-benar maju, berdaulat, dan sejahtera.



Tags: