Urgensi Desentralisasi Sampah: Refleksi atas Pengelolaan TPA Sumur Batu Kota Bekasi

Ansor sumur batu
By -

 

Gambar : Ilustrasi

Sampah telah menjadi masalah klasik yang terus menghantui kota-kota besar di Indonesia, tidak terkecuali Kota Bekasi. Di tengah arus urbanisasi dan konsumsi masyarakat yang terus meningkat, pengelolaan sampah membutuhkan pendekatan yang lebih visioner dan berkelanjutan.


Baru-baru ini, Tempat Pembuangan Akhir (TPA) milik Kota Bekasi yang terletak di Kelurahan Sumur Batu, Kecamatan Bantar Gebang, Kota Bekasi mendapatkan sanksi administratif dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Sanksi ini dijatuhkan karena operasional TPA masih menerapkan sistem open dumping—metode pembuangan sampah terbuka yang sudah lama dianggap tidak ramah lingkungan. Kota Bekasi menjadi salah satu dari lebih dari 300 TPA di Indonesia yang menghadapi persoalan serupa.


Sebagai tindak lanjut, Pemerintah Kota Bekasi merencanakan pembelian lahan baru untuk menerapkan sistem sanitary landfill—sebuah metode pengelolaan sampah modern dengan menimbun dan memadatkan sampah di lokasi cekung yang kemudian ditutup dengan lapisan tanah. Meski lebih baik dibanding sistem terbuka, sanitary landfill tetap bukan solusi jangka panjang. Dengan volume sampah yang mencapai ribuan ton per hari, tempat penampungan ini pun memiliki batas daya tampung. Tanpa ada strategi pengurangan dari sumbernya, cepat atau lambat, metode ini pun akan kembali menghadirkan masalah.


Untuk itu, Kota Bekasi perlu berani mengambil langkah terobosan: desentralisasi pengelolaan sampah. Artinya, sampah tidak hanya ditangani di ujung (TPA), tetapi dikelola di titik awal dan menengah—yakni di tingkat kelurahan dan kecamatan. Caranya dengan mengoptimalkan peran UPTD Dinas Lingkungan Hidup, penguatan TPS3R (Tempat Pengolahan Sampah Reduce-Reuse-Recycle) yang dapat memberikan nilai ekonomi kepada masyarakat, serta penggunaan insinerator ramah lingkungan yang sudah tersertifikasi oleh KLHK. Insinerator ini memiliki masa pakai minimal 10 tahun dan disertai dengan layanan purna jual yang memadai.


Pendekatan desentralisasi ini tidak hanya mengurangi beban sampah yang harus diangkut ke TPA, tetapi juga memangkas biaya operasional secara signifikan. Perlu diketahui, biaya pengangkutan sampah di Kota Bekasi bisa menyedot anggaran hingga puluhan miliar rupiah per tahun. Dengan desentralisasi, anggaran bisa dialihkan untuk program-program lingkungan lainnya yang lebih berdampak langsung kepada masyarakat.


Dari sisi anggaran, Kota Bekasi sejatinya memiliki kapasitas fiskal yang memadai. Dengan APBD yang cukup besar, mestinya pemerintah daerah mampu melakukan reformasi pengelolaan sampah secara menyeluruh. Desentralisasi pengelolaan sampah bukan hanya realistis, tapi juga sangat mungkin diwujudkan secara bertahap. Sebagai langkah awal, pilot project dapat dimulai di kecamatan yang paling jauh dari lokasi TPA—di mana biaya dan dampak pengangkutan sampah paling besar dirasakan. Jika berhasil, pola ini bisa direplikasi ke seluruh wilayah kota.


Di sisi lain, peran UPTD Dinas Lingkungan Hidup seharusnya difokuskan pada pengelolaan dan pelestarian lingkungan hidup di tingkat lokal, bukan lagi dibebani urusan pemungutan retribusi sampah, yang pada praktiknya dibeberpa tahun kebelakang terdapat permasalahan. Tugas ini lebih tepat jika dialihkan kepada Badan Pendapatan Daerah. Indikator keberhasilan UPTD bukan dari seberapa banyak sampah yang berhasil diangkut ke TPA, melainkan dari seberapa besar volume sampah yang berhasil dikelola dan diselesaikan di tingkat lokal.


Jika pola ini diterapkan dengan serius, bukan hanya pengelolaan sampah yang menjadi lebih efektif, tetapi juga akan terjadi pengurangan dampak pencemaran di sekitar TPA Sumur Batu. Pada akhirnya, hal ini akan menciptakan keadilan lingkungan bagi masyarakat yang selama ini terdampak langsung, serta menghapus bentuk-bentuk diskriminasi dan ketidakadilan ekologis yang kerap tak terdengar suaranya.

Oleh: Muhamad Zaenudin (Ketua PR GP Ansor Sumur Batu)


Tags: