Dalam perdebatan panjang tentang kontrasepsi, sering kali yang dilupakan bukan sekadar metode teknis pengendalian kelahiran, melainkan bagaimana praktik itu menyentuh nilai-nilai mendasar seperti keadilan gender, kesetaraan hak, dan bahkan implikasi biopolitik. Ketika tubuh menjadi medan kuasa antara negara, agama, dan ekonomi, kontrasepsi tidak bisa lagi dilihat semata-mata sebagai pilihan pribadi, melainkan sebagai kebijakan publik yang mencerminkan siapa yang punya hak atas tubuhnya sendiri.
Kontrasepsi seringkali dijadikan alat kendali sosial. Dalam berbagai kebijakan bantuan sosial (bansos), terdapat kecenderungan mengaitkan akses atau hak atas bantuan dengan kewajiban penggunaan alat kontrasepsi tertentu, terutama bagi warga miskin. Pendekatan ini bukan hanya problematik, tapi juga menjurus pada diskriminasi. Ketika keluarga miskin dipaksa untuk mengikuti program KB demi mendapatkan bansos, sementara keluarga kaya bebas memilih jumlah anak yang mereka inginkan, di situlah keadilan sosial menjadi retorika kosong. Hak untuk berkembang biak seolah menjadi hak istimewa bagi yang mampu, dan menjadi ancaman publik jika datang dari kelompok miskin.
Dalam konteks gender, beban penggunaan kontrasepsi sebagian besar masih dilimpahkan kepada perempuan. Padahal, laki-laki pun memiliki metode seperti vasektomi. Namun, resistensi terhadap vasektomi seringkali datang dari narasi maskulinitas yang rapuh—seolah sterilisasi mengurangi kelaki-lakian seseorang. Ini menunjukkan bahwa bukan hanya tubuh perempuan yang dijadikan objek pengendalian, tetapi juga bagaimana konstruksi sosial terhadap gender mempersempit pilihan laki-laki sendiri. Dalam hal ini, kontrasepsi bukan hanya persoalan medis, tapi juga persoalan identitas.
Lebih jauh, eugenika sebagai ideologi pernah bersembunyi di balik kampanye pengendalian penduduk, bahkan di negara-negara yang mengklaim menjunjung hak asasi manusia. Kebijakan kontrasepsi massal kadang menyasar kelompok etnis tertentu, atau masyarakat dengan disabilitas dan kemiskinan, atas dasar argumen 'kesejahteraan nasional' atau 'kualitas penduduk'. Ini adalah warisan gelap dari logika eugenika, di mana manusia dinilai berdasarkan standar sosial-ekonomi yang sempit, dan yang dianggap "tidak ideal" dipaksa membatasi keturunannya.
Foucault pernah menyebut bagaimana negara modern mengatur populasi melalui apa yang ia sebut "biopolitik"—strategi kuasa yang tidak lagi berbasis kekerasan, tapi melalui pengelolaan kehidupan itu sendiri: kelahiran, kesehatan, dan kematian. Kontrasepsi berada tepat di tengah arena ini. Negara tidak lagi mengeksekusi tubuh, tapi mengatur bagaimana tubuh berkembang biak, bagaimana keluarga dibentuk, dan bagaimana warga "baik" harus berperilaku secara reproduktif.
Oleh karena itu, penting untuk melihat kontrasepsi dalam kerangka yang lebih luas. Bukan hanya soal efektifitas medis, tapi juga hak memilih, kebebasan tubuh, keadilan gender, dan jaminan bahwa setiap warga—miskin atau kaya, perempuan atau laki-laki—berhak atas kendali reproduksi tanpa tekanan, diskriminasi, atau stigmatisasi. Kontrasepsi bukan alat kekuasaan, tapi seharusnya menjadi pilihan yang benar-benar bebas, sadar, dan setara.
Tulisan ini bukan untuk menolak program keluarga berencana, melainkan untuk mendesak agar pendekatannya lebih manusiawi, adil, dan sensitif terhadap keberagaman kondisi sosial. Di tengah upaya menciptakan kesejahteraan nasional, jangan sampai hak dasar atas tubuh dan masa depan individu dikorbankan demi statistik populasi. Sebab, sejatinya, keadilan reproduksi adalah fondasi dari masyarakat yang benar-benar demokratis.