![]() |
Sumber Gambar : https://images.app.goo.gl/5mcMM5A6nZq5CBpX8 |
Dalam kajian hukum Islam, konsep bid’ah sering kali menjadi perdebatan panjang di kalangan ulama, terutama terkait dengan statusnya dalam sistem hukum Islam. Secara epistemologis, bid’ah bukanlah kategori hukum sebagaimana hukum taklifi (wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram), melainkan fenomena hukum yang membutuhkan analisis lebih lanjut untuk menentukan di mana posisinya dalam sistem hukum Islam. Dengan kata lain, bid’ah adalah suatu perbuatan atau inovasi yang keberadaannya bersifat netral hingga ada pertimbangan fiqh yang menilai dampaknya terhadap syariat. Oleh karena itu, penilaian terhadap bid’ah tidak bisa dilepaskan dari prinsip dasar dalam ushul fiqh, yakni bahwa hukum suatu perbuatan ditetapkan berdasarkan dalil dan maqashid syariah, bukan semata-mata karena unsur kebaruannya.
Dalam kerangka logika hukum Islam, bid'ah sebagai fenomena dapat dianggap sebagai variabel independen , sementara hukum taklifi adalah variabel terikat (akibat/hasil) yang bergantung pada bagaimana bid’ah tersebut dinilai dalam perspektif syariat. Dalam konteks ini berarti bahwa bid’ah sebagai suatu fenomena tidak langsung memiliki hukum tetap, melainkan hukum itu ditetapkan berdasarkan faktor lain, seperti dalil, maslahat, dan dampaknya bagi umat Islam. Sebagai contoh, pengumpulan mushaf Al-Qur’an pada masa Khalifah Abu Bakar, penyusunan ilmu nahwu, dan peringatan Maulid Nabi merupakan bentuk bid’ah dalam arti kebaruan, tetapi karena memiliki maslahat yang kuat dan tidak bertentangan dengan prinsip dasar syariat, maka hukumnya bisa masuk dalam kategori sunnah atau bahkan wajib. Sebaliknya, jika suatu bid’ah mengandung unsur penyimpangan dalam akidah atau ibadah yang tidak memiliki landasan syar’i, maka ia bisa jatuh ke dalam kategori haram.
Sebaliknya, jika bid’ah dianggap sebagai variabel terikat , maka akan terjadi kekacauan dalam logika hukum Islam. Hal ini karena hukum taklifi sebagai sistem normatif dalam Islam harusnya mengikat perbuatan mukallaf berdasarkan dalil syar’i, bukan berdasarkan apakah suatu perbuatan itu disebut bid’ah atau tidak. Jika setiap perkara baru otomatis dikategorikan sebagai sesuatu yang memiliki hukum tetap sejak awal, maka akan terjadi penyempitan ruang gerak dalam kehidupan umat Islam. Setiap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan budaya akan selalu dianggap memiliki konsekuensi hukum tertentu tanpa terlebih dahulu melalui kajian mendalam terhadap maslahat dan mudaratnya. Ini tentu bertentangan dengan metode istinbath hukum yang dianut dalam tradisi fiqh Islam, di mana setiap perbuatan manusia harus dinilai secara kontekstual berdasarkan dalil dan maqashid syariah.
Dengan demikian, pendekatan yang lebih tepat dalam memahami bid’ah adalah dengan menempatkannya sebagai fenomena hukum yang dapat bernilai beragam tergantung konteks dan dampaknya, bukan sebagai kategori hukum yang memiliki nilai tetap. Ini sejalan dengan kaidah fiqh yang menyatakan bahwa al-ashlu fil asy-yaa’i al-ibahah (pada dasarnya segala sesuatu itu mubah) kecuali ada dalil yang menunjukkan sebaliknya. Oleh karena itu, dalam kajian hukum Islam yang berbasis logika hukum, bid’ah tidak boleh dipandang sebagai sesuatu yang inheren negatif, melainkan harus dikaji secara kritis untuk menentukan posisinya dalam hukum taklifi. Pendekatan ini akan memberikan keluasan dalam memahami perkembangan zaman sekaligus menjaga orisinalitas ajaran Islam dalam koridor yang sesuai dengan maqashid syariah.