Mengkaji Narasi Bencana Alam dalam Islam: Antara Azab dan Tanggung Jawab Manusia

Ansor sumur batu
By -

 
Kebakaran Long Angles USA. Sumber https://images.app.goo.gl/senjf5ouViwz17XX6

Beberapa kalangan kerap kali mengaitkan peristiwa bencana alam, seperti kebakaran hebat yang baru-baru ini terjadi di Long Angeles, Amerika Serikat, sebagai bentuk azab dari Allah ﷻ. Narasi semacam ini sebenarnya memerlukan kajian yang lebih mendalam agar tidak sekadar menjadi vonis tanpa dasar yang kuat. Dalam Islam, setiap bencana yang terjadi di muka bumi memiliki sebab dan akibat yang dapat dijelaskan baik dari sisi spiritual maupun ilmiah. Allah ﷻ telah menganugerahkan akal kepada manusia untuk berikhtiar guna meminimalisir dampak dari bencana, sehingga manusia memiliki tanggung jawab dalam menjaga keseimbangan alam.

Al-Qur’an menegaskan bahwa Allah menciptakan alam semesta dengan aturan dan keseimbangan tertentu. Firman Allah dalam surah Ar-Rahman ayat 7-9:

وَالسَّمَآءَ رَفَعَهَا وَوَضَعَ ٱلۡمِيزَانَۙ أَلَّا تَطۡغَوۡا۟ فِي ٱلۡمِيزَانِ وَأَقِيمُوا۟ ٱلۡوَزۡنَ بِٱلۡقِسۡطِ وَلَا تُخۡسِرُوا۟ ٱلۡمِيزَانَ

Artinya: “Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca (keadilan), supaya kamu jangan melampaui batas tentang neraca itu. Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu.” (QS. Ar-Rahman: 7-9).

Ayat ini mengingatkan bahwa segala sesuatu di alam ini memiliki keseimbangan yang telah Allah tetapkan. Apabila manusia melampaui batas dalam mengeksploitasi alam, maka kerusakan akan terjadi. Kebakaran hutan, banjir, tanah longsor, dan bencana lainnya bisa jadi akibat dari ulah manusia yang lalai menjaga keseimbangan tersebut. Sebagaimana firman Allah dalam surah Ar-Rum ayat 41:

ظَهَرَ ٱلۡفَسَادُ فِي ٱلۡبَرِّ وَٱلۡبَحۡرِ بِمَا كَسَبَتۡ أَيۡدِي ٱلنَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعۡضَ ٱلَّذِي عَمِلُوا۟ لَعَلَّهُمۡ يَرۡجِعُونَ

Artinya: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar-Rum: 41).

Namun demikian, tidak semua bencana alam disebabkan oleh kesalahan manusia. Sebagian bencana adalah fenomena alam yang merupakan sunnatullah atau hukum alam yang telah ditetapkan oleh Allah. Gempa bumi, gunung meletus, dan tsunami, misalnya, adalah peristiwa alam yang terjadi sesuai dengan hukum-hukum alam yang telah Allah tetapkan sejak penciptaan bumi. Allah berfirman dalam surah Yunus ayat 61:

وَمَا يَعۡزُبُ عَن رَّبِّكَ مِن مِّثۡقَالِ ذَرَّةٍۢ فِي ٱلۡأَرۡضِ وَلَا فِي ٱلسَّمَآءِ وَلَآ أَصۡغَرَ مِن ذَٰلِكَ وَلَآ أَكۡبَرَ إِلَّا فِي كِتَٰبٍۢ مُّبِينٖ

Artinya: “Tidak ada sesuatu pun yang luput dari pengetahuan Tuhanmu, biarpun sebesar zarrah di bumi ataupun di langit. Tidak ada yang lebih kecil ataupun yang lebih besar dari itu, melainkan semuanya tercatat dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yunus: 61).

Dalam menghadapi bencana alam, manusia diberi tanggung jawab untuk berikhtiar dan melakukan mitigasi. Rasulullah ﷺ mengajarkan bahwa berusaha mencegah bahaya adalah bagian dari iman. Sebagaimana hadits beliau:

لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ

Artinya: “Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh membahayakan orang lain.” (HR. Ibnu Majah dan Ahmad).

Salah satu bentuk ikhtiar dalam menghadapi bencana adalah dengan melakukan mitigasi bencana. Contohnya, membangun rumah yang tahan gempa di daerah rawan gempa atau mengurangi penebangan hutan untuk mencegah banjir dan tanah longsor. Islam mengajarkan bahwa usaha manusia untuk menjaga alam adalah bagian dari ibadah dan bentuk rasa syukur kepada Allah. Rasulullah ﷺ bersabda:

إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ إِذَا عَمِلَ أَحَدُكُمْ عَمَلًا أَنْ يُتْقِنَهُ

Artinya: “Sesungguhnya Allah mencintai seseorang yang ketika melakukan pekerjaan, dia melakukannya dengan sebaik-baiknya.” (HR. Thabrani).

Dalam hal ini, mitigasi bencana merupakan bentuk ikhtiar yang dilakukan dengan sungguh-sungguh untuk mengurangi risiko bahaya. Selain itu, manusia juga diingatkan untuk selalu memohon perlindungan kepada Allah dari segala bencana dengan memperbanyak doa dan dzikir. Salah satu doa yang dianjurkan dalam menghadapi bahaya adalah:

بِسْمِ اللَّهِ الَّذِي لَا يَضُرُّ مَعَ اسْمِهِ شَيْءٌ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي السَّمَاءِ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ

Artinya: “Dengan nama Allah yang dengan nama-Nya tidak ada sesuatu pun yang dapat membahayakan di bumi maupun di langit. Dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (HR. Tirmidzi).

Dari sini dapat dipahami bahwa Islam mengajarkan keseimbangan antara menerima takdir Allah dan berikhtiar untuk mencegah bahaya. Setiap manusia, apapun agamanya, adalah makhluk Allah yang senantiasa berada dalam naungan rahmat-Nya. Itulah sebabnya, Islam mengajarkan untuk memulai setiap tindakan dengan membaca bismillahirrahmanirrahim, yang mengandung makna bahwa Allah Maha Pengasih (Ar-Rahman) dan Maha Penyayang (Ar-Rahim).

Maka, narasi azab yang sering dikaitkan dengan bencana alam harus ditempatkan secara proporsional. Setiap bencana adalah ujian dari Allah, tetapi manusia memiliki kewajiban untuk menjaga alam dan berusaha mencegah dampak buruknya. Sebagaimana firman Allah dalam surah Al-Baqarah ayat 286:

لَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفۡسًا إِلَّا وُسۡعَهَاۚ

Artinya: “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah: 286).

Dengan demikian, Islam mengajarkan bahwa manusia harus menggunakan akal dan ilmu pengetahuan untuk menjaga alam dan mengurangi risiko bencana. Ikhtiar manusia dalam menjaga keseimbangan alam adalah bagian dari tanggung jawab kepada Allah dan bentuk pengabdian sebagai khalifah di bumi.