Oleh
: Ismail Fajrie Alatas, Muhammad As’ad, Fathurrochman Karyadi (Dalam Tebuireng:
Journal of Islamic Studies and Society Vol. 2, No.2, 2022)
Hubungan erat antara
habaib dan Nahdlatul Ulama (NU) merupakan bagian penting dari sejarah panjang
perjalanan Islam di Nusantara. Meski kita sering kali mengaitkan hubungan ini
dengan berdirinya jamiyah NU pada tahun 1926, ikatan antara habaib dan ulama nusantara telah terjalin jauh sebelumnya. Untuk memahami betapa dalamnya hubungan
tersebut, kita perlu menelusuri sejarah yang lebih panjang, dimulai dari abad
ke-18, yang memperlihatkan interaksi antara ulama dari kalangan habaib dan
jaringan kiai tradisional di Jawa. Artikel ini akan mengupas periode
tersebut dan bagaimana relasi tersebut mewarnai NU.
Pertama, harus dijelaskan
dulu apa yang dimaksud dengan habaib. Habaib adalah jamak dari kata habib.
Habib adalah panggilan yang diberikan kepada ulama dari kalangan ‘Alawiyin atau
dari Bani ‘Alawi yang artinya keturunan Nabi Muhammad SAW melalui jalur imam
Husain dan keturunan dari Sayyid ‘Alawi bin ‘Ubaidillah yang hijrah dari
Basrah, Irak, ke Hadramaut, Yaman. Dari Hadramaut keturunan mereka bermigrasi
ke pantai timur Afrika, pantai barat India dan yang paling besar bermigrasi ke
Asia Tenggara. Inilah yang disebut dengan habaib. Jadi, habaib bukanlah gelar
resmi. Titel resmi bagi keturunan Nabi Muhammad itu adalah Sayyid atau Syarif.
Ada yang mengatakan keturunan Hasan disebut Sayyid, dan keturunan Husain
disebut Syarif. Intinya ada beberapa pandangan mengenai gelar keturunan Nabi.
Akan tetapi dalam konteks Hadramaut, ada beberapa tradisi yang mengatakan bahwa
mencintai keluarga Nabi itu wajib. Pada perkembangan berikutnya orang memanggil
ulama dari kalangan Sayyid atau ‘Alawiyyin ini dengan panggilan habib. Itulah
yang dimaksud dengan habaib
Kapan habaib ini mulai
ada di Indonesia? Sejarawan berbeda pendapat. Ada yang bilang sudah cukup lama.
Tetapi catatan sejarah yang lebih jelas mengatakan bahwa pada abad ke-18,
habaib sudah aktif di Nusantara. Di catatan tersebut kita bisa melihat
bagaimana para Sayyid dari Hadramaut mempunyai posisi resmi di beberapa
kesultanan Islam di Asia Tenggara. Ada yang menjadi qadi (hakim agama),
mufti, menantu raja, bahkan menjadi raja. Seperti misalnya di Aceh seorang
Sayyid dari keluarga Bilfaqih menikahi Sultanah Aceh yang ke-4. Setelah itu
datang fatwa dari Makkah yang mengatakan perempuan tidak boleh menjadi
pemimpin. Karena fatwa tersebut, sang Sultanah turun tahta dan suaminya, Sayyid
dari Hadramaut menggantikan posisinya menjadi Sultan Aceh.
Di samping fakta di atas,
kita juga bisa melihat beberapa kesultanan di Nusantara yang didirikan oleh
habaib. Misalnya seorang ulama, Habib Husain al-Qadri, berdakwah di kalangan
masyarakat Dayak di Kalimantan Barat. Putranya kemudian menikah dengan salah
satu bangsawan Bugis. Pada pernikahan ini, keturunannya mempunyai dua marga
dengan status sosial tinggi, yaitu sebagai bangsawan Bugis dan habaib. Dari
garis keluarga inilah yang kemudian mampu mendirikan kesultanan di Kalimantan
Barat dan juga mendirikan Kota Pontianak. Selain itu, kita juga bisa menemukan
keluarga Alaydrus yang mendirikan emirat Kubu yang ada di Kalimantan Tengah. Emirat
bukanlah kesultanan, tetapi di bawah kesultanan Pontianak. Kemudian ada
keluarga al-Shihab di Siak, Indrapura yang membangun kerajaan di sana dengan
sultannya yang terakhir, Syarif Kasim. Ketika Indonesia merdeka, Sultan Syarif
Kasim turun tahta dengan alasan mengabdi di Republik Indonesia.
Dari beberapa catatan
sejarah tersebut, kita bisa menyimpulkan dengan jelas bahwa habaib aktif di
kesultanan di Nusantara sejak abad ke-18. Apakah sebelum masa itu habaib sudah
ada di Nusantara? Kemungkinan ada, tetapi catatan sejarah tidak terlalu jelas.
Walaupun misalnya di beberapa kitab-kitab nasab kaum ‘Alawiyin ataupun
kitab-kitab nasab yang ada di Kesultanan Cirebon mengatakan bahwa delapan dari
sembilan Wali Songo garis keturunannya bisa dilacak sampai kepada nasab habaib.
Tetapi informasi ini diperdebatkan oleh para sejarawan. Selain itu, ada juga
catatan yang mengatakan bahwa di Kasultanan Mataram (sebelum pecah menjadi
Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Jogjakarta) terdapat seorang sayyid ‘Alawi
yang menjadi mufti Kasultanan Mataram di zaman Sultan Pakubuwono II. Tetapi
kita tidak tahu sejauh mana pengaruh habaib di zaman itu pada bentuk-bentuk
keislaman yang ada di keraton-keraton tadi.
Islam
Jawa, Keraton, dan Tarekat Syatariyah
Mengapa kita tidak
mengetahui pengaruh habaib sebelum abad 18? Karena pada zaman itu bentuk Islam
yang dominan berada di keraton dan kesultanan. Adalah sebuah fakta bahwa di
Nusantara sebelum abad 18 terdapat bentuk keislaman yang sebenarnya sudah
terbangun cukup lama dan didominasi oleh tasawuf spekulatif (tasawuf teoritis,
atau tasawuf nadhari). Hal ini karena pengaruh al-Shaikh al-Akbar Ibn ‘Arabi
dengan konsep wahdatul wujudnya yang sampai di Nusantara melalui silsilah
tarekat Syattariyyah. Kita sudah banyak membaca misalnya dari karya Azumardi
Azra dan yang lainnya bahwa tarekat Syattariyyah cukup berpengaruh di Madinah
pada abad ke 16 dan 17. Di antaranya adalah Ibrahim al-Kurani dan banyak
murid-muridnya dari Indonesia seperti Abdurrauf al-Singkili yang membawa Tarekat
Syattariyah ke Nusantara. Tarekat ini sampai ke Jawa melalui Syekh Abdul Muhyi
Pamijahan dan akhirnya masuk ke keraton-keraton. Jadi, di keraton sendiri kalau
kita lihat literatur keislaman (yang mereka punya) sangat didominasi oleh
ajaran-ajaran Syattariyah. Harus kita pahami bahwa teks-teks keislaman di zaman
itu hampir seluruhnya ditulis dalam bahasa Jawa. Bentuk keislaman saat itu juga
sangat berbeda dengan apa yang kita pahami sebagai Islam hari ini di mana Islam
saat itu mempunyai kecenderungan berkelindan dengan kultur lokal. Pengaruh
Timur Tengah khususnya Negeri Arab bisa dibilang ada tetapi budaya Jawanya
sangat dominan dan tentu juga ada pengaruh-pengaruh dari wilayah lain seperti
dari Persia dan India.
Pada awal abad ke-19,
tiba-tiba bentuk keislaman yang didominasi ajaran Tarekat Syattariyah dan
berbasis di keraton yang mana kitab-kitabnya berbahasa Jawa seperti serat,
babad, suluk, dan lain-lain berubah. Yang mempunyai otoritas keislaman saat itu
adalah seorang seperti Yasadipura. Ada Yasadipura I, Yasadipura II, dan sang
cucu, Ranggawarsita. Mereka itulah (ototitas keagamaan) yang memproduksi
khazanah Islam, yang mungkin bagi kaum Nahdliyin atau bagi habaib sekarang
dianggap kurang Islami karena (bentuk keislamannya) sangat berbeda dengan apa
yang kita pahami sebagai Islam hari ini. Tapi justru menariknya di sini.
Mungkin teks-teks itu sekarang bagi kebanyakan Muslim dianggap sebagai
teks-teks kejawen dan lain-lain, tetapi itulah sebenarnya Islam di zaman itu.
(Di mana) sangat dipengaruhi ajaran Tarekat Syattariyah. Jadi, keraton sampai
abad ke-18 sampai abad ke-19 adalah pusat Islam.
Kita tahu Sultan Mataram
saat itu menggunakan gelar Kangjeng Sultan Agung Adi Prabu Anyakrakusuma
Senapati Ing Ngalaga Abdurrahman Sayyidin Panatagama Khalifatullah Tanah Jawi,
sebuah gelar Khalifah; bahwa mereka betul-betul secara sadar memproyeksikan
diri tidak hanya sebagai sultan, tetapi juga khalifah. Mereka betul-betul sadar
bahwa kesultanan mereka itu adalah pusat Islam. Keislaman mereka bukanlah Islam
periphery atau pinggiran dari sebuah pusat (Islam) yang jauh seperti
Makkah ataupun Hadramaut. Masjid Demak diproyeksikan—di dalam kitab-kitab Suluk
dan Babad Jawa—sebagai center of Islam. Oleh karenanya, pada saat mulai
banyak orang Jawa pergi haji, Mangkunegara Ke-IV menyitir dalam salah satu
karyanya bahwa dia bilang “Saya heran mengapa anak-anak muda ini ingin
pergi ke Makkah, (sedangkan) kita punya Masjid Demak di sini, mengapa jauh-jauh
ke sana.” Pernyataan ini bisa dilihat sebagai pemahaman bahwa kita
adalah orang Jawa dan Islam, dan ini adalah center of Islam. Muslim Jawa
tidak perlu ke pusat (Islam) yang jauh di sana, karena di sini adalah pusat
(Islam). Apa yang kita punya di dalam Museum Radya Pustaka dan
perpustakaan-perpustakaan keraton lainnya sebenarnya itu adalah Islam: Islam
yang sangat Jawa dan tidak dapat diduplikasi di tempat lain, sangat orisinil.
Pada abad ke-19, keraton
sebagai pusat Islam kalah khususnya karena efek kekalahan Pangeran Diponegoro
di perang Jawa pada 1825-1830. Dalam pandangan kami, perang Jawa ini adalah
babak terakhir Islam keraton (Islam dengan pengaruh kuat Tarekat Syattariyah)
yang kalah oleh gerak zaman roda kapitalisme dan kolonialisme yang waktu itu
semakin memasuki wilayah Jawa. Oleh karena itu, kita tahu misalnya dari karya
Peter Carey bahwa banyak sekali tokoh-tokoh kunci dalam perang Jawa itu adalah
mursyid Tarekat Syattariyah
Tidak hanya itu, bacaan
favorit Pangeran Diponegoro adalah Tuhfah al-Mursalah ila Ruh al-Nabi karya
Fadlullah al-Burhanpuri yang merupakan seorang teoritis Tarekat Syattariyah.
Dus, dampak dari perang Jawa ini mengakibatkan disrupsi pada Tarekat
Syattariyah dan jaringannya yang sudah cukup terbangun lama. Lebih dari itu,
pemerintah kolonial Belanda mengganggap perpaduan atara Islam dan keraton Jawa
berbahaya sekali untuk stabilitas pemerintah kolonial karena berhasil membangun
kekuatan dan berperang selama lima tahun lamanya, maka oleh karenanya harus
dipisahkan. Nancy Florida melihat ada upaya-upaya purifikasi keraton-keraton
Jawa (Surakarta dan Yogyakarta) dari pengaruh-pengaruh Islam. Keraton ini
dibentuk oleh Pemerintah Kolonial Belanda untuk menjadi benteng dari Javanisme
dan mulai menerjemahkan kitab-kitab Jawa kuno, kakawin, sastra kakawin
sebelum Islam dan lain-lain untuk menutupi kesusatraan dan teks-teks Islam yang
sudah diproduksi dengan luar biasa di keraton Mataram semenjak Sultan Agung.
Habaib,
Jaringan Kiai, dan Reorientasi Islam di Jawa
Di sinilah kita melihat
ada sebuah konteks pasca-Perang Jawa di mana pusat Islam yang tadinya terpaku
pada keraton tiba-tiba hilang dan runtuh. Pertanyaannya siapa yang mengisi
kekosongan itu? Sejak era ini kita bisa memahami peran habaib di satu sisi dan
para ulama-ulama yang baru kembali dari Haramain (Makkah dan Madinah) di sisi
yang lain. Karena pada abad 19 muncul sistem tanam paksa yang berarti ada
moneterisasi ekonomi agrikultur. Hasil dari itu, banyak petani Jawa mendapatkan
kapital dari tanaman komersil (seperti kopi dan lainnya) yang digunakan untuk
berangkat haji. Ketika berhaji, mereka tidak langsung pulang tetapi menjadi
pelajar (santri) di Makkah. Pada saat orang Jawa menjadi santri di Makkah pada
abad 19, terjadi pergeseran orientasi Islam di mana tasawuf spekulatif ala
Tarekat Syattariyah tidak lagi menjadi rujukan di Makkah dan Madinah. Orientasi
ini digantikan oleh bentuk tasawuf berorientasi syariat. Di antaranya adalah
Tarekat Naqsabandiyah, Qadiriyah, Samaniyyah, dan lain-lain yang biasa disebut
lebih reformis. Tipikal dari tasawuf berorientasi syariat ini adalah mereka
lebih berorientasi kepada masyarakat awam: bagaimana mencerdaskan masyarakat
awam dengan tidak fokus mengajarkan tasawuf tetapi bagaimana mengajarkan
masyarakat awam menjadi muslim yang baik secara syar’i. Jadi, mereka lebih
banyak menekankan misalnya tasawuf akhlaqi, dan mengajarkan fiqh al-‘ibadah (cara
shalat, cara wudlu, hukum zakat dan lain-lain) dan teks-teks aqidah yang lebih
simpel. Hal ini menjadi penting untuk diajarkan daripada membaca tentang
martabat tujuh, martabat lima, tajalli tuhan di alam semesta ala Ibnu ‘Arabi..
Maka dari itu banyak dari
santri-santri dari Jawa ini yang terpengaruh dengan perubahan yang ada di
Makkah pada masa itu. Ketika mereka kembali ke Jawa, mereka mengkritisi banyak
guru-guru lokal yang masih berorientasi kepada Islam keraton dengan membawa
kitab-kitab seperti ‘Aqidah al-‘Awwam dan mukhtasar-mukhtasar ilmu
fikih. Para ulama dan habaib yang semakin banyak datang ke Jawa di pertengahan
abad 19 ini mengajarkan masyarakat awam bagaimana cara shalat, wudlu, dan
lainnya. Mengapa pada masa itu banyak habaib pulang ke Jawa dari Makkah? Hal
ini dikarenakan maraknya keberadaan orang-orang Hadrami di Jawa dan di Nusantara
yang sukses berdagang dan bahkan mendominasi bisnis perkapalan di Nusantara.
Mereka sangat kaya dan punya keluarga yang lahir di Nusantara hingga berpikir
bagaimana mereka bisa menjaga religiusitas keluarga mereka ini. Pada akhirnya
para saudagar Hadrami yang kaya kaya ini baik yang ada di Singapura maupun di
kota-kota di sepanjang pesisir Jawa mensponsori datangnya para ulama dari
Hadramaut untuk datang dan mengajarkan keluarga dan anggota komunitas Hadrami
bagaimana menjadi muslim yang baik.
Salah
satu yang paling terkenal dari orang-orang yang diundang untuk datang dan
mengajar ini adalah Syekh Salim bin Sumayr. Walaupun bukan habaib tetapi
guru-guru Syekh Salim hampir semua habaib dan beliau pribadi mengikuti tarekat
habaib. Selain itu, Syekh Salim mengajar disponsori oleh keluarga al-Junaid di
Singapura dan kemudian di Jakarta. Ketika dia mengajar di dua tempat tersebut,
Syekh Salim melihat banyak para muridnya awam ilmu agama. Maka untuk membantu
dalam proses pengajaran, Syekh Salim menulis kitab kecil yang bisa mengajarkan
Islam dari dasar yaitu Safinah al-Najah. Selain itu, ada juga Habib
Abdullah bin Umar bin Yahya yang juga datang atas undangan para saudagar
Hadrami di Indonesia dan banyak menulis kitab yang ditujukan untuk orang orang
awam. Kitab ini tidak hanya ditujukan kepada anak-anak komunitas Hadrami,
tetapi untuk kaum muslimin pada umumnya seperti kitab beliau yang masih
terkenal dan masih banyak dibaca sekarang di kalangan Nahdliyin yaitu Safinah
al-Salah. Adalah Habib Abdullah yang membawa untuk pertama kalinya kitab Sullam
al-Tawfiq ke Nusantara. Kitab ini ditulis ditulis oleh sang paman dari
jalur ibu yaitu Habib Abdullah bin Husain bin Thohir. Tiga kitab di atas dan kitab
lain seperti Risalah al-Jami’ah karangan Habib Ahmad bin Zen al-Habsyi
adalah kitab-kitab yang ditulis oleh habaib di Hadramaut untuk mengajarkan
Islam kepada para kabilah-kabilah Arab yang tidak mengerti Islam sama sekali.
Munculnya kitab-kitab kecil dan praktis ini membantu memperkenalkan
praktik-praktik dasar keislaman kepada masyarakat awam.
Pada
saat habaib ini datang ke Nusantara mereka juga melihat umat Islam di sini juga
awam sama seperti ketika mereka mengajar muslim di Hadramaut sana. Maka
digunakanlah kitab-kitab yang awalnya ditulis untuk kabilah dan suku badui Arab
untuk muslimin di Jawa. Oleh karenanya, jika kita melihat kitab-kitab seperti Sullam
al-Tawfiq dan Risalah al-Jami’ah, semuanya adalah kitab yang
merangkum bab keimanan (tentang ilmu akidah) secara sederhana misalnya tentang
sifat dua puluh, makna dari kalimat syahadat, fikih ibadah dasar dan juga
tassawuf akhlaqi. Jadi, dalam satu kitab terdapat banyak pembahasan (all in
one). Jadi menurut habaib yang mengajar di Nusantara ini, mereka sepertinya
mengatakan: “Sudahlah dari pada pusing menggunakan rujukan kitab Tuhfah
al-Mursalah (yang digunakan oleh Pangeran Diponegoro), pakai kitab ini saja
sudah cukup terutama untuk orang-orang di zaman ini yang awam agama.”
Walaupun
Syekh Salim bin Sumayr dan Habib Abdullah bin Umar Bin Yahya tadi datang untuk
mengajarkan anak-anak di komunitas Hadrami. Tetapi karena Hadrami banyak
tinggal di kota-kota di pesisir pulau Jawa (Singapura, Gresik, dan Surabaya)
maka aktivisme mereka bersinggungan dengan orang-orang di luar komunitas
Hadrami, seperti orang-orang Jawa yang mau berangkat atau pulang haji. Beberapa
dari muslim Jawa ini singgah di Singapura untuk beberapa lama sehingga mereka
bertemu dan belajar kepada Syekh Salim bin Sumayr yang pada akhirnya
mengenalkan mereka kitab Safinah al-Najah. Atau ketika Habib Abdullah
bin Umar Bin Yahya berada di Surabaya, dirinya mengajarkan kitab Sullam
al-Tawfiq di Masjid Sunan Ampel. Salah satu buktinya adalah satu manuskrip
di Perpustakaan Nasional yang merupakan Tadzkirah (memorandum) dari
Habib Abdullah bin Umar bin Yahya untuk para hujjaj (jamak haji) di
Jawa. Dalam manuskrip tersebut disebutkan beberapa nama muridnya seperti Haji
Muhammad Arsyad, Haji Muhammad Saleh dan lain lain. Melihat nama-nama tersebut
jelas bisa dilihat bahwa mereka bukan Hadrami. Dan merekalah yang menjadi murid
Habib Abdullah ketika berada di Surabaya.
Dalam
tadzkirah juga dijelaskan bahwa masalah di pulau Jawa ini banyak orang
yang tidak paham Islam tetapi mengajarkan agama Islam dengan cara yang rumit
dan semakin tidak membuat orang awam paham agama. Habib Abdullah merekomendasikan
muridnya mengajar menggunakan kitab Sullam al-Tawfiq yang dikarang oleh
sang paman. Habib Abdullah melanjutkan bahwa semua pengajaran agama yang para
muridnya butuhkan untuk mengajar orang awam ada dalam kitab tersebut. Tadzkirah
juga memberikan gambaran bagaimana Habib Abdullah mengasumsikan bahwa umat
Islam di zaman itu adalah orang awam. Maka untuk belajar tentang tauhid,
menggunakan kitab ‘Aqidah al-‘Awwam. Ketika perlu belajar Arab. Pada
akhirnya, Islam menjadi sebuah agama dengan jumlah massa yang besar melalui
aktivisme habaib dan para kiai melalui pondok pesantren yang mereka bangun, dan
kitab populer yang dikarang yang menjadi kurikulum dasar studi keislaman di
Nusantara.
Inilah
salah satu yang harus kita pahami dalam memaknai relasi antara habaib dan para
kiai yang mana ada kesamaan visi dan misi. Di samping itu, dikemudian hari
ditemukan juga adanya kesamaan isnad atau sanad di mana baik habaib dan
para kiai belajar dari guru-guru yang sama. Ini terjadi bukan di Hadramaut
karena pada abad ke-18 dan 19 tidak ada ulama Jawa yang datang dan belajar
agama di sana. Tetapi ini terjadi di Makkah karena banyak orang-orang Jawa dan
dari seantero Nusantara belajar kepada mufti Syafi’iyah di Makkah. Seara
historis, mufti Syafi’iyah di Makkah di pegang oleh beberapa orang yang
mempunyai hubungan dekat dengan habaib di Hadramaut. Salah satunya yang
terkenal adalah Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan yang merupakan guru dari banyak
ulama Jawa dan juga guru dari banyak habaib.
Jadi, setelah dijelaskan
sebelumnya ada kesamaan visi dan visi antara ulama Jawa dengan habaib, yang
tidak kalah penting juga adalah adanya hubungan pertalian sanad guru yang sama
yaitu Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan. Sebelum era Sayyid Zaini Dahlan sebagai
mufti Makkah, ada Habib Muhammad bin Husein al-Habsyi yang juga menjabat mufti
Syafi’iyah. Beliau ini ayah Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi, penulis kitab
Maulid Simt al-Durar. Di dua era mufti Syafi’iyah ini, banyak sekali
ulama Nusantara dan habaib dari Hadramaut yang belajar dengan beliau. Di luar
dua nama di atas, kita juga mengenal nama Syekh Muhammad bin Said Babsayl,
seorang mufti Syafi’iyah yang menjadi guru dari Habib Ali Kwitang dan
Hadratussyekh K.H. M. Hasyim Asy’ari. Selain itu, Hadratussyekh juga belajar
kepada Habib Husein bin Muhammad al-Habsyi, kakak dari Habib Ali al-Habsyi
penulis kitab Simt al-Durar. Jadi ikatan antara ulama Jawa dan habaib
semakin kuat dan semakin gencar karena ada dua kesamaan: persamaan visi dan
misi serta sanad dan silsilah keilmuan yang membuat mereka cukup dekat.
Oleh karena itu, tidak
heran jika kitab karangan habaib (Safinah al-Najah, Risalah al-Jami’ah,
dan Sullam al-Tawfiq) yang menjadi kitab dasar kurikulum Islam di Jawa
disyarahkan oleh Syekh Nawawi al-Bantani di Makkah. Ini menunjukkan bahwa Syekh
Nawawi memiliki kesamaan visi dengan habaib yang mengedepankan pemikiran haddadiyah
untuk dakwah kepada masyarakat awam. Dengan menulis syarah tiga kitab di
atas, sebenarnya Syekh Nawawi mempersiapkan buku yang bisa digunakan oleh para
pengajar di kemudian hari di Jawa untuk menjelaskan tiga kitab tersebut kepada
khalayak ramai. Tujuannya agar kitab-kitab tersebut bisa dibaca di langgar dan
pondok pesantren sebagai kurikulum ibtidaiyyah. Tidak semua orang mau belajar
sampai ke Minhaj al-Talibin atau Fath al-Mu’in karena kedua kitab
tersebut hanya untuk kelas khusus. Jika berbicara kitab yang bisa digunakan
untuk masyarakat umum ialah Safinah al-Najah, Risalah al-Jami’ah, dan Sullam
al-Tawfiq. Ini sudah cukup. Syekh Nawawi al-Bantani menyarahi kitab kitab
tersebut untuk membantu para ulama dan para pendidik di Nusantara agar bisa
mengajarkan kitab kitab tersebut kepada masyarakat secara luas. Dan ini menjadi
embrio dari apa yang kita sebut sebagai ahli sunnah wal jamaah masa ini.
Oleh
karena hubungan ulama dan habaib yang sudah disebutkan di atas, tidak heran
jika fatwa habaib dari Hadramaut juga digunakan sebagai rujukan oleh para kiai
NU. Ini bisa dilihat dari salah satu kitab yang digunakan di lajnah bahtsul
masail yaitu Bughyah al-Mustarsidin. Kitab ini berisi fatwa habaib
di Hadramaut yang kemudian dirangkum menjadi satu kitab oleh Habib Abdurrahman
bin Muhammad al-Masyhur Ba ‘Alawi, seorang mufti dari kota Tarim, Hadramaut dan
ahli nasab habaib. Habib Abdurrahman al-Masyhur adalah kakek dari Habib Umar
bin Hafidz dari jalur ibu. Di bahtsul masail PBNU, kitab ini paling banyak
dirujuk nomor dua setelah kitab I’anah al-Talibin karya Syekh Bakri
Syatha.
Merujuk
pada pertanyaan moderator di awal sesi webinar ini, tentang bagaimana peran
habaib di jamiyah Nahdlatul Ulama, kami kira penjelasan di atas bisa memberikan
gambaran bahwa baik habaib dan para ulama tradisional (sebelum mereka
mendirikan NU) adalah saling berkaitan secara paradigma keagamaan dan secara
sanad keilmuan. Ketika semakin banyak para ulama tradisional di Nusantara
berkumpul (salah satunya pasca pulang belajar dari Makkah kepada dan bersama
kalangan habaib), mereka kemudian mendirikan jamiyah Nahdlatul Ulama pada 1926.
Jadi boleh dibilang habaib dan ulama NU secara kultural, teologi, visi, dan
misi dakwah serta sanad keilmuan sangat sama dan sangat berkelindan.
Namun begitu, meskipun
secara paradigma sama dan mendukung pendirian NU, tetapi habaib—kita ambil
contoh Habib Ali Abdurrahman al-Habsyi Kwitang—memilih untuk tidak memasuki
jamiyah mana pun karena bagi Habib Ali lebih baik di luar jamiyah walaupun
misalnya hatinya bersama NU. Jika dirinya masuk menjadi anggota NU, maka Habib
Ali khawatir tidak bisa berbicara dengan orang Muhammadiyah, al-Irsyad atau
Persis. Sikap ini bisa dipahami dengan memahami fakta bahwa Habib Ali Kwitang
adalah tokoh yang sangat terbuka dengan semua kalangan. Dia mempunyai hubungan
yang baik dengan pendiri al-Irsyad, Syekh Ahmad Surkati, walaupun yang
bersangkutan cukup kritis terhadap para habaib. Begitu juga hubungan Habib Ali
dengan dengan tokoh Muhammadiyah dan Persis, Kiai Mas Mansur dan Ahmad A. Hasan
di mana di antara mereka bertiga punya hubungan yang dekat. Bagaimana dengan
Hadratussyekh Hasyim Asy’ari? Tentu saja hubungannya sangat dekat karena satu
guru, di antaranya Syekh Muhammad Said Babsayl, dan lain lain. Selain itu,
kedekatan keduanya bisa dilihat ketika baik Habib Ali bersama-sama dengan
Hadratussyekh ikut terlibat dalam Majlis Islam Ala Indonesia (MIAI) yang dibuat
Jepang pada waktu itu.
Setiap
Habib Ali pergi ke Jawa Timur (misalnya untuk menghadiri haul Habib Syech
Bafaqih Boto Putih di Surabaya atau pergi mengunjungi sahabatnya Habib Soleh
al-Hamid di Tanggul, Jember, bersama murid-muridnya yang merupakan kiai-kiai
Betawi seperti K.H. Abdul Rozak Ma'mun, K.H. Thohir Rohili, K.H. Abdullah
Syafii dan lain lain) selalu mampir ke Tebuireng untuk menemui Hadratussyekh
Hasyim Asy’ari. Begitu juga pada saat muktamar NU di Jakarta pada 1959, di mana
K.H. Wahab Hasbullah menjadi Rais Aam menggantikan Hadratussyekh, Habib Ali
meskipun bukan anggota Nahdlatul Ulama tetapi beliau sangat dituakan dan sangat
dihormati oleh para kiai NU.17 Maka K.H. Wahab Hasbullah meminta Habib Ali
untuk membaca doa penutup dalam rangkaian muktamar NU tersebut. Begitu juga
Habib Salim Bin Jindan yang mana banyak guru beliau adalah para kiai seperti
Syekhana Kholil Bangkalan dan banyak lagi sanad keilmuan beliau yang kembali ke
Syekh Mahfudz Termas. Sama dengan Habib Ali, Habib Salim memilih untuk tidak berada
di satu organisasi tertentu sehingga dia bisa berbicara dengan kaum modernis
dan juga kaum tradisionalis.
Contoh di atas bukan
berarti mengatakan bahwa semua habaib ada di luar organisasi Nahdlatul Ulama.
Ada beberapa habaib yang masuk dalam keorganisasian NU, di antaranya adalah
Habib Djamaluddin Assegaf Puang Ramma di Makassar yang merupakan salah satu
pendiri Nahdlatul Ulama di Sulawesi Selatan. Beliau adalah ayah dari Habib
Abdurrahim Assegaf Puang Makka yang merupakan mursyid tarekat Kholwatiyah
penerus Syekh Yusuf al-Makassari. Ada beberapa habaib lain yang ikut ke dalam
suatu organisasi, tetapi pada umumnya mereka lebih memilih untuk dakwah di luar
jamiyah, yang artinya mereka secara kultural dan teologis sama dengan Nahdhatul
Ulama tetapi tidak menjadi anggota resmi jamiyah tersebut. Relasi antara habaib
dan kiai ini terus berlanjut dari zaman ke zaman dan hubungan antara mereka
terkadang dimediasi oleh tempat ketiga seperti Makkah yang terjadi sampai
sekarang. Hal ini dikarenakan banyak putra dari para kiai di Nusantara dan
habaib belajar kepada Sayyid Muhammad bin ‘Alawi al-Maliki di Makkah sehingga
sanad keilmuan mereka juga tersambung. Perlu diketahui bahwa banyak guru dari
Sayyid Muhammad ‘Alawi al-Maliki adalah habaib dari Hadramaut. Sehingga
sanadnya keilmuan mereka bersambung. Begitu juga akhir-akhir ini dengan makin
banyaknya putra para kiai di Nusantara yang meneruskan pendidikannya ke
Hadramaut, baik di Ribath Tarim, Dar al-Mustafa, atau Universitas al-Ahqaf.
Kesimpulan
Hubungan
antara kiai NU dan habaib telah terjalin sekian lama awalnya karena kesamaan
visi dan misi. Keduanya bertanggung jawab terhadap reorientasi Islam di Jawa
khususnya dari Islam yang keraton sentris yang sangat pekat unsur budaya
Jawanya menjadi Islam yang berbasis pesantren, majelis taklim dan langgar. Hal
ini merubah pula teks-teks keislaman yang dipakai, dari teks berbahasa Jawa
menjadi teks berbahasa Arab yang diterjemahkan dalam institusi keagamaan yang
telah disebutkan tadi. Perubahan ini juga berdampak pada cara pandang
masyarakat (yang sebut dengan kaum santri) terhadap bentuk keislaman yang lebih
tua di Jawa. Kaum santri memahami Islam dari kitab-kitab seperti Safinah
al-Najah, Risalah al-Jami’ah, dan Sullam al-Tawfiq sehingga
memandang teks agama Islam keraton sentris yang berbahasa Jawa sebagai Kejawen.
Kaum santri tidak lagi bisa memahami teks Jawa yang ada di keraton sebagai
Islam karena perbedaannya dari teks keislaman yang dipelajari saat ini.
Jadi
habaib dan jaringan kiai Nahdlatul Ulama adalah kekuatan yang berada di balik
terjadinya standarisasi Islam di Indonesia dan juga sebagai tokoh yang
merekonfigurasi Islam dari bentuk lama menjadi bentuk yang lebih baru di negeri
ini. Kesamaan paradigma keagamaan diantara habaib dan kiai tradisional ini
menjadi semakin kuat dan erat karena adanya hubungan sanad intelektual dan
hubungan pertalian guru murid serta hubungan kekerabatan intelektual karena
mereka belajar dari guru-guru yang sama. Akan tetapi ketika para kiai
tradisionalis bersepakat mendirikan Nahdlatul Ulama banyak dari habaib lebih
memilih untuk tidak berada di dalam organisasi tersebut meskipun memiliki
kesamaan visi, teologi serta praktik keagaamaan. Hal itu bisa dijelaskan paling
tidak dari representasi beberapa habaib ternama seperti Habib Ali Kwitang dan
Habib Salim Bin Jindan. Mereka melakukannya karena lebih mengedepankan dakwah
lintas batas dan lintas organisasi. Bergabung dengan satu jamiyah tertentu
membuat mereka khawatir kalau keberadaan organisasi tersebut akan mengalienasi
organisasi yang lain. Meskipun begitu, mereka berdua tetap mendukung NU
meskipun secara formal tidak menjadi anggota.
Menurut pandangan kami,
untuk waktu yang lama dan sampai sekarang mayoritas habaib bisa dikatakan
mengikuti jejak Habib Ali Kwitang dan Habib Salim Bin Jindan. Habaib ini bisa
dikatakan secara lahir dan batin adalah Nahdliyin tetapi secara formal bukan
bagian dari anggota NU. Kekuatan Nahdlatul Ulama bukan hanya pada bentuknya
sebagai organisasi tetapi lebih kepada kecenderungan orang-orang untuk merasa
memiliki dan menjadi bagian dari NU meskipun tidak mempunyai Kartu Anggota NU
(KARTANU). Kita bisa melihatnya ketika terkadang muncul suara kritis PBNU dari
kalangan habaib yang sebetulnya mengkritik karena merasa memiliki, bukan karena
rasa benci. Kritik mereka bisa dianalisa karena habaib merasa ikut memiliki NU
dan mungkin tidak sepaham dengan beberapa kebijakan pengurusnya. Hal ini tentu
saja berbeda dengan kritik yang muncul pada orang yang tidak senang kepada
organisasi yang berdiri tahun 1926 ini. Jadi, yang luar biasa dari Nahdlatul
Ulama adalah walaupun ia sebuah organisasi tetapi di sisi lain NU lebih besar
daripada organisasi tersebut. Organisasi ini bisa dimiliki dan dicintai oleh
orang-orang yang bukan merupakan anggota formal dalam organisasi tersebut,
termasuk di antaranya adalah kalangan habaib.