Sumbangsih Santri dalam Kebangkitan Nasionalisme dan Pembentukan Negara Bangsa Indonesia

Ansor sumur batu
By -

 

Hari Santri diperingati setiap tanggal 22 Oktober setiap tahun, sesuai dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2015 tentang Hari Santri. Peringatan ini bertujuan untuk menghormati peran santri dalam memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.

Pada 22 Oktober 1945, Resolusi Jihad dicetuskan oleh Rais Akbar Nahdlatul Ulama (NU), Hadratusy Syaikh Hasyim Asy'ari, atas inisiatif Al Mukarrom KH Wahab Chasbullah, yang saat itu menjabat sebagai Khatib NU. Resolusi ini dilahirkan sebagai respons terhadap serangan sekutu yang kembali mengancam kemerdekaan RI. Dengan latar belakang sejarah tersebut, tanggal 22 Oktober dipilih sebagai Hari Santri Nasional.

Di balik lahirnya Resolusi Jihad, terdapat perjalanan panjang transformasi pemikiran di kalangan ulama dan santri pondok pesantren. Mereka berfungsi sebagai infrastruktur pendidikan dan intelektual sebelum adanya lembaga pendidikan bercorak barat di Hindia Belanda. Konsep-konsep seperti nasionalisme, Nahdlah (kebangkitan), dan cinta tanah air (hubbul wathon) mulai berkembang pada waktu itu.

Peran Hadratusy Syaikh Hasyim Asy'ari dan KH Wahab Chasbullah tidak terlepas dari pengaruh Syekh Kholil Bangkalan dan Syekh Nawawi al-Bantani. Pada masa itu, dunia Islam di Jazirah Arab dan Nusantara menghadapi tantangan besar akibat penjajahan, terutama setelah Perang Jawa. Ketidakpastian melanda umat Islam terkait nasib mereka, yang pada akhirnya mendorong munculnya konsep Nahdlah dan cinta tanah air. Konsep-konsep ini menjadi faktor penting dalam pembentukan negara-negara bangsa di dunia Islam.

Konsep cinta tanah air diperkirakan berkembang di Mesir berkat pengaruh Rifa'ah Rafi' al-Tahtawi (1801-1873), seorang penulis, guru, dan intelektual Mesir. Setelah lulus pada tahun 1821, Rifa'ah mengajar di Al-Azhar selama dua tahun dan juga menjabat sebagai imam untuk tentara Mesir. Pada tahun 1826, ia dikirim ke Prancis dalam misi beasiswa yang diberikan oleh Muhammad Ali Pasha, seorang jenderal Albania yang berhasil merebut kekuasaan di Mesir setelah invasi Napoleon pada tahun 1798. Setelah kekalahan Napoleon, Muhammad Ali memanfaatkan kekosongan kekuasaan dan meneguhkan dirinya sebagai gubernur Mesir atas nama Kekaisaran Ottoman pada awal abad ke-19.

Pengiriman Rifa'ah ke Prancis itu berkat rekomendasi dari Hasan Al-Attar, rektor Universitas Al-Azhar saat itu. Hasan Al-Attar, yang berasal dari keluarga apoteker, menjelajahi berbagai negara Islam seperti Lebanon dan Suriah untuk mempelajari berbagai disiplin ilmu. Ia juga sering berinteraksi dengan ilmuwan Prancis yang datang bersamaan dengan invasi Napoleon ke Mesir. Pertemuan-pertemuan tersebut memberikan Al-Attar wawasan bahwa dunia Islam mengalami kemunduran dibandingkan dengan peradaban Barat. Menurut J. Heyworth-Dunne dan M. Fazlurrahman Hadi, Al-Attar menginspirasi dan memotivasi Rifa'ah, sehingga gaya pemikirannya sangat memengaruhi Rifa'ah. Berkat Al-Attar, Rifa'ah menjadi sadar bahwa umat Islam, terutama di Mesir, mengalami kemunduran yang signifikan dibandingkan masyarakat Barat.

Selama berada di Prancis, Rifa'ah mempelajari berbagai disiplin ilmu, termasuk geografi, teknik, sejarah, dan politik. Tujuannya adalah untuk menerjemahkan sejumlah literatur berbahasa Prancis ke dalam bahasa Arab, sehingga dapat meningkatkan transfer pengetahuan Barat ke dunia Islam, khususnya di Mesir.

Karya terjemahan yang paling terkenal dari Rifa'ah Rafi' al-Tahtawi adalah Rūh al-Qawānin dan Al-Aqd Al-Ijtimā'i. Rūh al-Qawānīn merupakan terjemahan dari karya Montesquieu yang berjudul De l'esprit des Lois. Buku ini membahas teori politik yang dicetuskan oleh Montesquieu, dan penerjemahan Rifa'ah ke dalam bahasa Arab telah mendorong penyebaran ide-ide demokrasi dan modernisme dengan cepat di Mesir.

Selain itu, Rifa'ah juga menerjemahkan karya Jean-Jacques Rousseau yang berjudul Du Contrat Social, yang diubah menjadi Al-Aqd Al-Ijtimā'i dalam bahasa Arab. Seperti karya sebelumnya, buku ini juga menyajikan teori politik Rousseau. Baik Montesquieu (1689-1755) maupun Rousseau (1712-1778) dipengaruhi oleh pemikiran John Locke (1632-1704), khususnya dalam hal teori kontrak sosial. Locke sendiri sangat dipengaruhi oleh René Descartes, seorang filsuf Prancis terkenal dengan pemikiran rasionalisnya.

René Descartes (1596-1650) mendapatkan pengaruh dari sejumlah tokoh intelektual, salah satunya adalah Francisco Suárez (1548-1617), seorang teolog dan filsuf Jesuit asal Spanyol. Suárez merupakan pemikir penting dalam tradisi Skolastik akhir dan mendapat pengaruh besar dari berbagai pemikir, termasuk Thomas Aquinas (abad ke-12 M). Sebagai seorang Skolastik, Suárez sangat dipengaruhi oleh ajaran Aquinas, terutama dalam teologi dan filsafat moral. Aquinas dikenal sebagai salah satu tokoh utama dalam tradisi Skolastik, dan ajarannya mengenai hubungan antara iman dan akal, serta filsafat hukum alam, memiliki peranan penting dalam pendidikan teologis dan filosofis Suárez.

Thomas Aquinas, yang merupakan salah satu teolog dan filsuf terbesar dalam tradisi Katolik, juga dipengaruhi oleh berbagai pemikir penting, termasuk Albertus Magnus (1200-1280), yang merupakan guru langsungnya. Albertus Magnus, seorang filsuf dan teolog Jerman, dikenal sebagai salah satu cendekiawan terkemuka pada masanya dengan pengetahuan yang luas, mencakup teologi, filsafat, dan ilmu alam. Di bawah bimbingan Albertus di Universitas Paris, Aquinas memperdalam pemahamannya tentang Aristoteles dan mulai merumuskan pendekatan filsafat dan teologi yang menjadi ciri khasnya. Albertus adalah orang pertama yang mengomentari hampir semua tulisan Aristoteles, sehingga karya-karyanya menjadi lebih mudah diakses dalam perdebatan akademis.

Studi tentang Aristoteles membawa Albertus untuk mempelajari dan mengomentari ajaran-ajaran dari pemikir Muslim, terutama Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd, yang membawanya ke pusat perdebatan akademis. Ia berjasa dalam memperkenalkan ilmu-ilmu Yunani dan Arab ke berbagai universitas Eropa pada era Pencerahan.

An-Nahdah adalah gerakan kebudayaan yang berkembang pada paruh kedua abad kesembilan belas hingga awal abad kedua puluh di negara-negara berbahasa Arab, seperti Mesir, Lebanon, dan Suriah, yang sebelumnya merupakan bagian dari kekaisaran Utsmaniyah. Gerakan ini sering disebut sebagai "Kebangkitan Arab." An-Nahdah muncul sebagai reaksi terhadap keterkejutan budaya yang diakibatkan oleh invasi Napoleon Bonaparte ke Mesir, yang membawa serta kebudayaan Prancis modern. Saat itu, masyarakat Arab di Mesir mulai menyadari ketertinggalan mereka dalam berbagai bidang akibat dampak kebudayaan Barat yang dibawa oleh Napoleon.

Ideologi nasionalisme mulai memasuki Mesir pada akhir abad kedelapan belas dan awal abad kesembilan belas, bersamaan dengan pendudukan Mesir oleh pasukan Prancis. Nasionalisme pada waktu itu masih terbilang baru bagi umat Islam. Rifa'ah Rafi' al-Tahtawi adalah salah satu pemikir terkemuka di Mesir yang menerima dan menganjurkan konsep nasionalisme, yang pada saat itu dia sebut sebagai patriotisme. Nasionalisme yang diperkenalkan oleh Rifa'ah didasarkan pada gagasan cinta tanah air dan kebangsaan. Dia berpendapat bahwa kebijaksanaan seorang raja dapat dinilai dari kemampuannya untuk mempersatukan rakyat melalui satu bahasa, kesetiaan mereka terhadap pemerintah yang sah, serta syariat Allah.

Meskipun Rifa'ah menekankan pentingnya syariat sebagai dasar negara, dia tidak menghendaki adanya diskriminasi antaragama. Sebaliknya, dia berharap bahwa penerapan syariat akan menjadikan semua warga negara setara. Dalam nasionalisme yang diusungnya, Rifa'ah menolak perasaan partisanisme yang dapat memecah belah bangsa Mesir. Dia menyatakan bahwa persatuan adalah ketentuan Tuhan, dan diharapkan bahwa persatuan tersebut dapat mendorong kerjasama dalam membangun tanah air. Menurutnya, dengan adanya syariat, negara seharusnya tidak membedakan putra-putri tanah air berdasarkan agama, apalagi memecah belah mereka, karena semua orang memiliki kedudukan yang sama.

Revolusi Prancis memiliki pengaruh yang besar terhadap pemikiran Rifa'ah. Revolusi ini adalah peristiwa penting dalam pembentukan negara bangsa modern di Prancis. Sebelum revolusi, Prancis diperintah oleh monarki absolut. Namun, revolusi tersebut menggulingkan kekuasaan monarki dan memulai era baru di mana rakyat Prancis menuntut hak-hak kebebasan, kesetaraan, dan persaudaraan, yang dikenal dengan semboyan Liberté, Égalité, Fraternité. Revolusi ini juga menghasilkan Deklarasi Hak Asasi Manusia dan Warga Negara, yang menegaskan bahwa kekuasaan negara harus berasal dari rakyat, bukan dari raja atau gereja. Revolusi ini memperkenalkan konsep negara nasional di mana warga negara dianggap sebagai anggota komunitas politik yang berdaulat, dengan hak-hak sipil dan politik yang sama. Negara menjadi representasi dari kehendak umum rakyat.

Sekembalinya dari Prancis, pemikiran Rifa’a al-Tahtawi tentang nasionalisme dan kebangkitan (Nahda) memberikan dampak signifikan terhadap institusi Al-Azhar, terutama dalam hal reformasi pendidikan dan pembaruan pemikiran. Sebagai salah satu lulusan paling terkemuka dari Al-Azhar, al-Tahtawi membawa ide-ide modern yang ia serap selama misi akademisnya di Prancis. Ide-ide tersebut kemudian memengaruhi institusi keagamaan seperti Al-Azhar, yang pada saat itu merupakan pusat pendidikan Islam di Mesir. Sebagai bagian dari gerakan Nahda, al-Tahtawi berusaha menghidupkan kembali kejayaan dunia Islam melalui reformasi di bidang budaya, pendidikan, dan pemikiran rasional. Ia yakin bahwa dunia Arab dan Islam bisa maju jika prinsip-prinsip modernisasi diterapkan tanpa mengorbankan identitas keagamaan dan kebudayaan.

Al-Tahtawi juga berperan penting dalam mempengaruhi pemikiran Syekh Ibrahim al-Baijuri, terutama dalam konteks reformasi pendidikan dan adaptasi terhadap modernitas di Mesir. Keduanya aktif dalam gerakan Nahda dan berupaya menjawab tantangan modernisasi sambil tetap menjaga identitas dan nilai-nilai Islam. Al-Baijuri banyak mengambil inspirasi dari pemikiran al-Tahtawi dan melanjutkan warisan pembaruan tersebut dalam bidang pendidikan dan reformasi sosial di Mesir, menjadikan mereka berdua sebagai tokoh kunci dalam pembaruan dunia Islam.

Sementara itu, ulama-ulama Nusantara, seperti Syekh Nawawi al-Bantani dan Syekh Kholil Bangkalan, yang pernah belajar atau melakukan rihlah ke Mesir, kemungkinan besar juga terpengaruh oleh gerakan Nahdah dan pemikiran nasionalisme yang berkembang di Mesir pada waktu itu. Pengaruh ini selanjutnya menginspirasi para santri mereka, seperti Hadratusyeikh KH Hasyim Asy'ari dan KH Abdul Wahab Chasbullah, untuk mengembangkan sikap anti-kolonialisme dan menentang penjajahan. Meskipun demikian, konsep pembebasan yang diusung oleh para pengamal tarekat Syatariyah, yang terinspirasi oleh pemikiran insān al-kāmil dari Ibn Arabi, sebenarnya sudah lama membumi di Hindia Belanda saat perang jawa Pangeran Dipenogoro.

Selain itu, pemikiran Rifa'a al-Tahtawi juga kemungkinan memengaruhi Syekh Abdul Qadir Al Jaziri, seorang tokoh Nahdah di Aljazair, serta para tokoh Nahdah di Suriah. 

Di awal abad ke-19, gagasan untuk membahas kondisi umat Islam di Hindia Belanda diwadahi dalam Kongres Al-Islam, yang berlangsung antara tahun 1922 hingga 1926. Kongres ini menjadi tonggak penting dalam perkembangan kalangan Muslim "tradisionalis" dan "modernis" di Hindia Belanda, di mana kedua aliran tersebut bertemu dalam pertemuan penting.

Dalam Kongres Al-Islam pertama di Cirebon yang dipimpin oleh Agus Salim, hadir perwakilan dari Sarekat Islam, Muhammadiyah, dan Al-Irsyad yang mewakili Islam modernis. Di sisi lain, organisasi lain seperti Tasywirul Afkar yang dipimpin oleh Kyai Haji Abdul Wahhab, serta Kyai Haji Asnawi dari Kudus, mewakili Islam tradisional. Kongres Al-Islam ini dilatarbelakangi oleh beberapa faktor, antara lain:

  • Keruntuhan Khilafah Turki Utsmani pada tahun 1924
  • Perselisihan furu'iyyah di kalangan umat Islam
  • Keinginan untuk menggalang persatuan umat Islam
  • Keinginan untuk menyelesaikan masalah khilafah
  • Keinginan untuk menegaskan pentingnya persatuan umat Islam
  • Keinginan untuk bekerja sama dalam menyelesaikan masalah khilafah

Tjokroaminoto, dalam tulisannya Zaman Baroe (1926), berharap agar Kongres Al-Islam Hindia dapat memperkuat semangat tolong-menolong dan persatuan di antara perhimpunan-perhimpunan Islam yang ada di Hindia Belanda. Namun, harapan tersebut tampaknya sulit terwujud. Sebaliknya, Kongres Al-Islam di Cirebon justru menjadi bibit perpecahan ideologi keagamaan antara Islam tradisionalis dan Islam modernis (Fausi, 2020). Ketika kongres ini dilanjutkan di Garut pada tahun 1922, titik temu yang diharapkan tidak kunjung terlihat. Alih-alih mempererat persatuan umat Muslim di Hindia Belanda, Kongres Al-Islam malah mempertebal perbedaan antara penganut Islam tradisionalis dan modernis (Afandi, 2022). Selain itu, kongres di Garut juga menjadi titik awal munculnya persilangan pendapat antara Sarekat Islam dan Muhammadiyah. Meskipun demikian, Kongres Al-Islam tetap berlangsung di tahun-tahun berikutnya, dan para ulama tradisional terus mengirimkan utusannya untuk menghadiri kongres tersebut.

Sementara itu, pada tahun 1924, umat Muslim di Timur Tengah sedang gempar atas dibubarkannya Khilafah Utsmani pada 3 Maret 1924 (Noer, 1996: 242). Ulama Al-Azhar di Kairo, Mesir, merespons situasi ini dengan menggelar muktamar internasional yang melibatkan seluruh kaum Muslim dari berbagai penjuru dunia. Dalam konteks Hindia Belanda, Kongres Al-Islam ketiga di Surabaya turut mempersiapkan undangan dari Kairo. Kongres ketiga ini diadakan pada tahun 1924 dan dihadiri oleh sekitar 1.000 kaum Muslimin (Afandi, 2022). Hasil dari kongres ini adalah keputusan untuk terlibat dalam pergerakan khilafah dengan mengirimkan utusan ke Kairo (Hindia Baroe, 1925). Mereka sepakat untuk membentuk sebuah delegasi bernama Centraal Comite Chilafat (CCC) (Bandera Islam, 1924). Salah satu amanah bagi CCC adalah menyampaikan bahwa khilafah Islam sebaiknya dibentuk di Mekkah dan Madinah, bukan di Mesir atau Turki. Mekkah, sebagai kota penting dalam perkembangan awal Islam, menjadi fokus utama.

Namun, pertemuan di Mesir akhirnya ditunda karena Mesir sedang melangsungkan pemilihan umum, ditambah situasi di Jazirah Arab yang sedang tidak stabil. Di Hijaz pada tahun 1925, Ibn Saud berhasil mempersatukan Jazirah Arab di bawah kekuasaannya dan memaksa Syarif Hussein meninggalkan wilayah tersebut. Ibn Saud kemudian memprakarsai agar kongres yang tertunda di Mesir dapat diagendakan di Mekkah (Hamka, 1959: 93). Undangan tersebut disambut positif oleh umat Muslim di Hindia Belanda, yang kemudian menggelar Kongres Al-Islam keempat di Yogyakarta pada 21-27 Agustus 1925, dan kelima di Bandung pada 6 Februari 1926. Kedua kongres ini didominasi oleh kelompok Islam modernis. Sebelum kongres keenam berlangsung, kelompok modernis melakukan upaya konsolidasi terlebih dahulu pada 8-10 Januari 1926. Mereka sepakat untuk mengirim Tjokroaminoto dan Kyai Haji Mas Mansur ke Mekkah (Hindia Baroe, 1926). Tambahan nama delegasi hasil putusan Kongres keenam adalah H.M. Soedjak, yang juga merupakan bagian dari kelompok Islam modernis (Zaman Baroe, 1926).

Centraal Comite Chilafat (CCC) yang dibentuk sebagai wadah resmi delegasi umat Muslim di Hindia Belanda kemudian diubah namanya menjadi Muktamar Alam Islamy Far’ul Hindis Sjarqiyah (MAIHS). Meskipun pembentukan MAIHS dilakukan dengan sepengetahuan kedua kelompok, baik Islam modernis maupun tradisional, pada praktiknya, kelompok Muslim tradisional tidak mendapatkan tempat yang sebanding. Hal ini mendorong kelompok tradisional untuk membentuk delegasi sendiri, yang dikenal sebagai Komite Hidjaz. Komite ini terdiri dari tokoh-tokoh utama Islam tradisional di Hindia Belanda, seperti KH. Hasyim Asy’ari, KH. Bisri dari Denanyar, dan lainnya.

Komite Hidjaz memiliki aspirasi yang berbeda dari MAIHS. Paham Wahhabisme yang dianut oleh Ibn Saud mengancam praktik-praktik Islam kultural, termasuk penghancuran makam Nabi yang dianggap dapat memunculkan syirik. Situasi ini membuat kelompok Islam tradisional merasa keberatan, sehingga salah satu tujuan utama Komite Hidjaz adalah memperjuangkan kebebasan hukum ibadah berdasarkan empat mazhab. Selain itu, Komite Hidjaz juga memiliki misi untuk membentuk suatu organisasi pengirim utusan, yang kemudian dinamakan Djam’iyah Nahdhatul Ulama oleh Kiai Alwi Abdul Aziz pada 31 Januari 1926 di Surabaya. Organisasi ini menjadi cikal bakal Nahdlatul Ulama (NU) (Fealy, 2003).

Pada akhirnya, kaum santri berperan sebagai infrastruktur transmisi intelektual yang membawa konsep nahdlah dan hubbul wathon, yang kemudian berkontribusi pada pembentukan nation-state Indonesia yang merdeka dan berdaulat.

 

Wallahu a'lam bisawab

 

Tags: