Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) di Bantargebang, Kota Bekasi, baru-baru ini dibatalkan oleh Penjabat (PJ) Wali Kota Bekasi. Langkah ini menimbulkan banyak pertanyaan terkait apakah proyek tersebut layak dilanjutkan, mengingat perkembangan terbaru dalam proyek PLTSa di Solo dan dampak lingkungan yang dilaporkan. Menganalisis PLTSa di Solo dan potensi tantangan di Bantargebang akan memberikan gambaran lebih jelas terkait kelayakan pembangunan ini.
PLTSa Solo: Keberhasilan yang Diwarnai Dampak Lingkungan
Sebagai PLTSa pertama yang berhasil beroperasi di Indonesia, PLTSa Putri Cempo di Solo menjadi contoh penting. Proyek ini dibangun sebagai respons terhadap Peraturan Presiden yang menetapkan PLTSa sebagai Proyek Strategis Nasional. Namun, terlepas dari keberhasilan operasionalnya, PLTSa Putri Cempo menghadapi tantangan serius terkait pencemaran lingkungan.
Menurut Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Solo, pencemaran yang disebabkan oleh limbah operasi PLTSa meliputi pencemaran udara, air, dan tanah. Warga sekitar melaporkan masalah kesehatan, termasuk sesak napas akibat polusi udara, kebisingan, serta pencemaran air akibat limbah cair yang dialirkan ke sungai. Selain itu, abu padat hitam yang dihasilkan dari proses pembakaran juga turut mencemari lingkungan sekitar. PT Putri Cempo Solo Membangun Proyek (PCSMPP) selaku pengelola telah berjanji menanggulangi dampak-dampak tersebut, namun fakta bahwa pencemaran ini terjadi menjadi perhatian penting bagi pembangunan PLTSa di daerah lain, termasuk di Bekasi.
Tantangan Pembangunan PLTSa di Bantargebang
PLTSa di Bantargebang menghadapi tantangan serupa bahkan sebelum beroperasi, baik dari segi teknis maupun lingkungan. Dengan potensi pencemaran yang dapat terjadi, seperti yang dilaporkan di Solo, pembangunan PLTSa di Bantargebang dapat menimbulkan risiko besar, terutama karena lokasi ini sudah menjadi tempat pembuangan akhir (TPA) yang menampung sampah dari Jakarta dan sekitarnya.
Berikut beberapa tantangan utama yang perlu dipertimbangkan:
1. Potensi Pencemaran Udara
Proses pembakaran sampah untuk menghasilkan listrik di PLTSa dapat memproduksi zat berbahaya seperti dioksin dan furan, senyawa kimia yang sangat beracun. Tanpa pengelolaan yang cermat, emisi dari PLTSa dapat meningkatkan polusi udara di wilayah Bantargebang yang sudah padat penduduk. Polusi udara ini tidak hanya berpotensi merusak lingkungan, tetapi juga berdampak pada kesehatan masyarakat sekitar, seperti yang telah terjadi di Solo.
2. Pencemaran Air dan Tanah
Selain udara, limbah dari pembakaran sampah juga mengancam kualitas air dan tanah di sekitarnya. Abu sisa pembakaran (fly ash dan bottom ash) yang mengandung logam berat berpotensi mencemari air tanah jika tidak dikelola dengan baik. Di Bantargebang, yang merupakan area penting bagi penampungan sampah dari ibu kota, pencemaran ini bisa berdampak serius pada kesehatan dan kesejahteraan masyarakat sekitar.
3. Tantangan Sosial dan Ekonomi
Pembangunan PLTSa di Bantargebang juga menghadapi resistensi dari masyarakat setempat, yang khawatir akan dampak lingkungan. Selain itu, pembiayaan dan pengelolaan PLTSa memerlukan investasi yang besar, serta infrastruktur teknologi yang canggih. Dalam konteks pengelolaan sampah di Indonesia, di mana sistem pengelolaan sampah masih belum ideal, pembangunan PLTSa di Bantargebang berisiko tidak optimal.
Kelayakan Pembangunan PLTSa di Bantargebang
Meski PLTSa menawarkan solusi potensial untuk mengatasi masalah sampah yang kian menumpuk, terutama di kawasan perkotaan seperti Bekasi dan Jakarta, risiko yang ditimbulkan oleh pencemaran lingkungan membuat kelayakan proyek ini patut dipertimbangkan secara matang. Pengalaman Solo menunjukkan bahwa meskipun berhasil beroperasi, dampak lingkungan yang ditimbulkan menjadi masalah serius yang perlu segera diatasi.
Di Bantargebang, dengan skala sampah yang jauh lebih besar daripada Solo, risiko pencemaran mungkin lebih tinggi. Oleh karena itu, setiap rencana pembangunan PLTSa di sini harus diiringi oleh teknologi penyaring emisi yang canggih, sistem manajemen limbah yang ketat, serta pengawasan lingkungan yang berkelanjutan.
Selain itu, pendekatan yang lebih ramah lingkungan, seperti meningkatkan kapasitas daur ulang dan pengurangan sampah, mungkin menjadi alternatif yang lebih baik. Daripada terlalu bergantung pada insinerasi, yang membutuhkan sampah dalam jumlah besar untuk beroperasi, pendekatan ini bisa mengurangi volume sampah secara keseluruhan dan meminimalkan risiko pencemaran.
Kesimpulan
Kelayakan pembangunan PLTSa di Bantargebang saat ini masih sangat bergantung pada berbagai faktor teknis, lingkungan, dan sosial. Pengalaman PLTSa di Solo menunjukkan bahwa keberhasilan operasional harus dibarengi dengan mitigasi dampak lingkungan yang serius. Jika dampak ini tidak dapat diatasi, maka pembangunan PLTSa di Bantargebang berisiko besar terhadap kesehatan masyarakat dan lingkungan.
Pemerintah perlu melakukan kajian mendalam dan memperkuat regulasi serta teknologi yang digunakan sebelum memutuskan apakah proyek ini layak dilanjutkan. Alternatif seperti memperbaiki pengelolaan sampah melalui metode reduce, reuse, recycle (3R) juga perlu dipertimbangkan sebagai solusi jangka panjang yang lebih berkelanjutan.