Babak Baru Pilkada Kota Bekasi 2024: Paslon Nomor Urut 1 Ajukan Sengketa Hasil ke MK

Ansor sumur batu
By -

 

Mahkamah Konstitusi

Bekasi, 10 Desember 2024, Proses Pemilihan Walikota Bekasi dalam Pilkada Serentak 2024 kini memasuki babak baru setelah Pasangan Calon (Paslon) Nomor Urut 1, Heri Koswara dan Sholihin, secara resmi mengajukan sengketa Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Pengajuan ini telah tercatat melalui Akta Pengajuan Permohonan Pemohon Elektronik Nomor: 224/PAN.MK/e-AP3/12/2024 yang didaftarkan pada Selasa, 10 Desember 2024, pukul 19:10 WIB. Sebelumnya, Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Bekasi telah mengumumkan hasil akhir pleno rekapitulasi suara pada Kamis, 5 Desember 2024. Hasil tersebut menunjukkan Paslon Tri Adhianto-Harris Bobihoe meraih suara terbanyak dengan 459.430 suara, diikuti Paslon Heri Koswara-Sholihin dengan 452.351 suara, terpaut tipis dari pemenang. Sementara itu, Paslon Uu Saeful Mikdar-Nurul Sumarheni hanya memperoleh 64.509 suara.


PHPU biasanya diajukan oleh pihak yang merasa dirugikan atas hasil pemilihan dengan berbagai alasan, seperti perbedaan penghitungan suara yang menimbulkan dugaan manipulasi di berbagai tingkatan, pelanggaran administrasi pemilu seperti kesalahan Daftar Pemilih Tetap (DPT) atau prosedur pelaksanaan, indikasi politik uang, hingga keterlibatan aparatur negara seperti ASN, TNI, atau Polri yang dianggap mendukung salah satu pasangan calon. Selain itu, kecurangan yang bersifat Terstruktur, Sistematis, dan Masif (TSM), ketidaknetralan penyelenggara pemilu, pelanggaran protokol, dan sengketa dukungan partai politik juga menjadi dasar umum pengajuan PHPU. MK hanya memproses sengketa dengan selisih suara yang memenuhi ambang batas sesuai Pasal 158 Undang-Undang Pilkada, yaitu 2% dari total suara sah untuk daerah dengan penduduk lebih dari 2 juta, 1,5% untuk daerah dengan penduduk 1-2 juta, 1% untuk daerah dengan penduduk 500 ribu-1 juta, dan 0,5% untuk daerah dengan penduduk kurang dari 500 ribu. Alasan-alasan ini harus disertai bukti valid seperti dokumen resmi, saksi, atau bukti lain yang relevan agar dapat dipertimbangkan oleh MK. Langkah ini menunjukkan dinamika demokrasi yang terus berkembang di Kota Bekasi, di mana transparansi dan keadilan menjadi pilar utama dalam menjaga legitimasi pemilihan umum.


Dalam hukum pemilu di Indonesia, terdapat perbedaan antara pelanggaran atau sengketa dalam proses pemilu dan perselisihan hasil pemilu. Perselisihan hasil pemilu merupakan kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK), sedangkan pelanggaran dan sengketa proses diselesaikan melalui Bawaslu, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), peradilan pidana untuk pelanggaran pidana, dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) untuk pelanggaran etik.


Pelanggaran dalam proses pemilu terbagi menjadi tiga bentuk: pelanggaran pidana, pelanggaran etik, dan pelanggaran administrasi. Pelanggaran pidana berkaitan dengan tindak pidana yang diatur dalam UU Pemilu dan menjadi wewenang peradilan pidana. Proses penyelesaian dimulai dari laporan masyarakat atau temuan Bawaslu, yang kemudian diverifikasi dan diserahkan kepada kepolisian untuk penyidikan serta jaksa untuk penuntutan. Pelanggaran etik, yang melibatkan perilaku penyelenggara pemilu, ditangani oleh DKPP berdasarkan laporan masyarakat atau temuan Bawaslu. Sementara itu, pelanggaran administrasi mencakup tata cara, prosedur, atau mekanisme pemilu, seperti proses pendaftaran pemilih, penetapan daftar pemilih tetap (DPT), hingga pelaksanaan kampanye, yang menjadi wewenang Bawaslu untuk diselesaikan.




Meski politik uang merupakan pelanggaran pidana, UU memberikan kewenangan kepada Bawaslu untuk memutus pelanggaran ini jika terbukti dilakukan secara TSM. Pelanggaran Terstruktur, Sistematis, dan Masif (TSM) sebagaimana diatur dalam Pasal 135A UU No. 10 Tahun 2016 harus terlebih dahulu diperiksa dan diputus oleh Bawaslu. Sengketa proses pemilu, yaitu sengketa antara peserta pemilu atau antara peserta dengan KPU, juga menjadi ranah Bawaslu di tingkat pertama. Jika pihak yang bersengketa tidak puas, kasus dapat diajukan ke PTUN. Pada dasarnya, seluruh pelanggaran yang bersifat parsial, terstruktur, sistematis, masif, maupun sengketa proses pemilu merupakan kewenangan Bawaslu, PTUN, DKPP, atau peradilan pidana.


Pada awalnya, perselisihan hasil pemilu yang dapat diputus oleh MK hanya berkaitan dengan perbedaan angka perolehan suara. Namun, dalam perkembangannya, MK mulai mempertimbangkan pelanggaran proses yang memengaruhi hasil pemilu, termasuk pelanggaran TSM. Pelanggaran TSM adalah pelanggaran yang dilakukan secara terencana, melibatkan banyak pihak, dan mencakup berbagai tingkatan penyelenggara pemilu dengan tujuan untuk menang secara curang. Pemohon harus membuktikan bahwa pelanggaran TSM tersebut signifikan memengaruhi hasil pemilu, yang tidak mudah dilakukan karena membutuhkan bukti yang kuat dan berdampak langsung pada keterpilihan pasangan calon.


Contoh kasus pelanggaran TSM yang berujung pada putusan signifikan oleh MK dapat ditemukan pada Pilkada Provinsi Jawa Timur (Putusan No. 41/2008) yang memerintahkan pemilu ulang di beberapa daerah, dan Pilkada Kotawaringin Barat (Putusan No. 45/2010) yang mendiskualifikasi calon terpilih. Berdasarkan Pasal 475 Ayat (2) UU No. 7 Tahun 2017, keberatan yang diajukan ke MK harus terkait dengan hasil perhitungan suara yang memengaruhi keterpilihan pasangan calon. Keberatan yang tidak memengaruhi hasil, meskipun terbukti, akan ditolak oleh MK.


Pada kasus sengketa Pemilihan Walikota Bekasi 2024, ujung dari semua dalil permohonan tetap muaranya pada aspek kuantitatif, yaitu sejauh mana angka kerugian yang diajukan pemohon dapat mengurangi perolehan suara pasangan calon pemenang. Proses pemeriksaan perkara ini akan menjadi kunci untuk melihat apakah pemohon mampu membuktikan dalil-dalil permohonannya dan memengaruhi hasil pemilihan secara signifikan.

 

Tags: